Bagaimana Saya Memilih Pasangan?

Dari Gospel Translations Indonesian

Langsung ke:navigasi, cari

Yang Berhubungan Dengan Sumber Daya
Lagi Oleh Desiring God Staff
Indeks Pengarang
Lagi Mengenai Pernikahan
Indeks Topik
Tentang terjemahan ini
English: How Do I Choose a Spouse?

© Desiring God

Bagikan ini
Misi Kami
Terjemahan ini diterbitkan oleh Injil Terjemahan, sebuah pelayanan yang ada untuk membuat buku-buku dan artikel injil-tengah yang tersedia secara gratis untuk setiap bangsa dan bahasa.

Pelajari lebih lanjut (English).
Bagaimana Anda Dapat Membantu
Jika Anda mampu berbahasa Inggris dengan baik, Anda dapat membantu kami sebagai penerjemah secara sukarela.

Pelajari lebih lanjut (English).

Oleh Desiring God Staff Mengenai Pernikahan

Terjemahan oleh Paulin Keren Gloria

Review Anda dapat membantu kami memperbaiki terjemahan ini dengan meninjau untuk meningkatkan akurasi terjemahan. Pelajari lebih lanjut (English).


Tujuh Prinsip Pernikahan yang Berhasil

Selain keputusan untuk mengikut Yesus, keputusan penting lain yang akan dibuat oleh anak-anak kita adalah dengan siapa mereka akan menikah.

Dampak kedepannya terhadap generasi-generasi selanjutnya sangatlah besar. Meskipun keputusan ini sangat penting, namun banyak orang tua justru lebih mengkhawatirkan nilai akademik atau performa atletik anak-anak mereka. Orang tua lebih sering membicarakan bagaimana agar anak-anak bisa masuk ke universitas yang benar daripada bagaimana cara memilih pasangan hidup yang benar di masa depan. Dengan siapa anak-anak Anda akan menikah akan mempengaruhi tujuan kekelan dari: mereka sendiri, pasangannya, cucu-cucu Anda dan juga cicit-cicit Anda.

Di Meja Makan

Sebagai orang tua dari lima anak yang sudah dewasa, saya ingin mendorong Anda untuk mendiskusikan topik ini dengan anak-anak Anda. Setelah pengalaman dengan berbagai macam kegagalan, saya dan istri saya menyadari bahwa tempat terbaik untuk mendiskusikan hal ini adalah di meja makan, di mana kami berkumpul setidaknya empat kali seminggu – enam kali akan lebih baik. Ayah dan ibu yang berhasil (terutama ayah) terus mendidik anak-anak mereka. Mereka tidak hanya mendidik dengan teladan, namun juga dengan perkataan. Itu akan sulit dilakukan jika sebuah keluarga tidak secara teratur berkumpul untuk makan bersama.

Kami juga menyadari bahwa saat terbaik untuk mendidik anak-anak kami adalah sejak dini daripada menunggu mereka dewasa. Orang tua bisa mulai mendiskusikan hal-hal ini pada saat anak-anak memasuki masa pubertas, dan terus melanjutkan diskusi tersebut secara teratur.

Saya dan istri saya secara teratur membahas tentang tujuh prinsip pernikahan dengan anak-anak kami. Sebenarnya ada lebih banyak lagi, tetapi ini adalah awal yang baik.

1. Lebih Baik Melajang daripada Memasuki Pernikahan yang Keliru.

Kebanyakan pasangan hari-hari ini (jika pernikahan mereka bertahan) telah hidup bersama selama 50 hingga 70 tahun. Itu waktu yang lama. Ketika pasangan membangun persatuan mereka dengan Kristus sebagai dasar, persatuan itu memiliki potensi untuk menjadi manis dan indah. Namun, ketika salah satu atau keduanya membangunnya dengan dasar yang lain, masa depan mereka mungkin tidak akan begitu baik.

Oleh karena itu, orang tua dapat mengajar anak-anak mereka untuk melakukan dua pedoman utama. Pertama, jika Allah tidak memberikan kerinduan untuk tetap melajang karena alasan yang berhubungan dengan Kerajaan Surga, menikahlah. Pernikahan adalah pola yang normal dan alkitabiah untuk orang dewasa. Namun, yang kedua, masuklah dalam pernikahan dengan hati-hati dan dengan kebijaksanaan. Lebih baik tetap melajang daripada memasuki pernikahan dengan tidak bijaksana.

2. Menikahlah untuk mengenal Kristus Lebih Dalam.

Kedua, didik mereka untuk menikah agar lebih dalam mengenal Kristus. Allah memerintahkan anak-anaknya untuk menikahi sesama orang percaya saja (Ulangan 7: 3 ; 1 Korintus 7:39 ; 2 Korintus 6:14). Aturan ini mutlak - tidak ada pengecualian. Bagi seorang Kristen untuk dengan sengaja dan sadar menikahi orang yang tidak percaya adalah dosa. Bagi saya, prinsip ini termasuk Katolik Roma dan Protestan liberal, yang Injil atau otoritas Alkitabnya tidak jelas.

Prinsip ini menimbulkan pertanyaan yang lebih besar: “Siapakah orang percaya?” Ketika ditanya, banyak orang akan mengaku sebagai orang Kristen karena mereka telah meminta Yesus masuk ke dalam hati mereka, bahkan jika mereka saat ini tidak berbuah atau tidak tertarik pada hal-hal rohani. Ini membuat penegasan jawaban dari pertanyaan ini menjadi sulit.

Berikut adalah beberapa pertanyaan bermanfaat yang dapat Anda tanyakan: Dapatkah calon pasangan Anda mencerminkan Injil dalam hidupnya? Apakah dia mempercayainya dan menikmatinya? Apakah hidupnya berpusat pada Kristus atau sesuatu yang lain? Apakah Kristus bertakhta dalam kehidupannya? Akankah pernikahan dengan orang ini secara nyata membuat saya lebih dekat dengan Kristus atau jauh dariNya?

Menikahlah agar mengenal Kristus lebih dalam. Kita ingin efek dari persatuan kita, setelah lima atau lima puluh tahun bersama, adalah menjadi lebih beriman, lebih taat, lebih serupa dengan Kristus, dan lebih membutuhkan dan bergantung pada Roh Kudus. Jangan menikahi siapa pun yang tidak akan membantu Anda menuju ke sana.

3. Menikahlah dengan Orang yang bisa menjadi seorang sahabat.

Ketiga, jangan menikahi wajah yang rupawan atau kesuksesan karier seseorang di masa depan. Bukannya tidak penting, tetapi itu semua bersifat sekunder. Pernikahan berarti berpuluh-puluh tahun hidup bersama. Lebih penting untuk menikahi seseorang yang dapat membuat Anda nyaman dan bisa berbagi minat, hobi, dan hasrat bersama. Tubuh yang indah akan cepat pudar. Keberhasilan karir tidak akan berarti apa-apa jika pada usia lima puluh tahun Anda tidak berbagi keintiman terdalam dengan komitmen yang sama kepada Kristus.

4. Fokuslah pada Janji Nikahnya.

Keempat, ingatkan anak-anak Anda, terutama anak perempuan Anda, bahwa pernikahan bukanlah tentang bunga, musik, gaun pernikahan, daftar tamu, dan bulan madu. Pernikahan adalah sebuah janji. Pernikahan adalah pembacaan janji di hadapan saksi-saksi. Segala sesuatu lainnya adalah pendamping dari janji tersebut. Dan saksi yang paling penting adalah Hakim yang kudus, mahatahu, dan mahakuasa – seorang hakim yang membenci seseorang melanggar janji karena perjanjian itu sangatlah bernilai.

Sebelum menyelenggarakan pernikahan, saya mengingatkan calon mempelai akan kebenaran ini. Saya mendorong mereka untuk membaca janji nikah mereka bersama dan mempertimbangkan konsekuensinya. Pernikahan bukan waktu untuk bertindak sembrono tetapi untuk sukacita yang tertulis dalam Mazmur 2:11: "Bersukacitalah dengan gemetar." Pernikahan adalah waktu untuk takut akan Tuhan, untuk bersama-sama dengan kesadaran penuh mengikat janji itu.

5. Bersiaplah untuk Tidak Bisa Kembali Lagi.

Kelima, janji nikah itu berarti pernikahan adalah untuk seumur hidup - “hingga maut memisahkan kita.” Saat orang Kristen menikah, mereka menutup jalan untuk bisa kembali lagi ke keadaan semula. Mengapa?

Kasih Kristus adalah perjanjian. Dia berjanji untuk “tidak akan membiarkan engkau dan tidak meninggalkan engkau” (Ibrani 13: 5). Ia “berpegang pada sumpah, walaupun rugi,” (Mazmur 15: 4). Umat Kristiani menikah untuk menghidupi kasih perjanjian Allah di depan anak-anak mereka dan dunia.

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengingkari hubungan itu karena “kita tidak saling mencintai lagi,” atau “jalan hidup kita sudah berbeda,” atau “dia tidak memahami saya.” Saya bersyukur kedua orang tua saya dan orang tua istri saya menanamkan ini pada kami di masa muda kami. Kami memasuki pernikahan dengan penuh kesadaran akan hal ini.

Saya sering teringat pada paman saya yang menikah dengan kekasihnya di SMA. Setelah sepuluh tahun menikah, istrinya menderita tumor otak. Yang saya ingat tentang bibi saya hanyalah dia berada di kursi roda, meneteskan air liur tanpa henti, tidak bisa berkomunikasi dengan suaminya. Ayah saya akan mengingatkan saya bahwa saudaranya sudah berjanji untuk setia kepada istrinya “dalam keadaan sakit dan sehat, di saat baik dan buruk, sampai maut memisahkan kami.” Paman saya memegang janji itu dengan setia. Di hari pernikahan saya, saya memahami bahwa tak ada jaminan ini tidak akan terjadi pada saya.

6. Jangan menikahi seseorang untuk mengubah orang tersebut.

Keenam, ayah istri saya membesarkan istri saya dengan sebuah nasihat yang luar biasa: jangan menikahi seseorang untuk mengubah orang tersebut. Misalnya, “Dia tidak suka merapikan barangnya sendiri, namun saya tahu dia akan berubah.” “Dia sangat cerewet, namun saya tahu dia akan berubah.” “Dia ingin mencurahkan seluruh perhatiannya pada karirnya dan tidak ingin memiliki anak, namun saya tahu saya bisa merubah pikirannya.” “Dia tidak memperhatikan saya, namun saya tahu dia akan berubah setelah beberapa tahun bersama.”

Mengapa menikahi seseorang untuk mengubah orang itu adalah sebuah kesalahan? Karena sangat mungkin mereka tidak akan berubah, dan jika tidak, Anda tetaplah suami atau istrinya seumur hidup Anda. Sebaliknya, menikahlah dengan mengetahui kelemahan dan kegagalan calon pasangan Anda, lalu bertekadlah untuk mencintai dan mengampuninya bahkan jika pasangan Anda tidak pernah bisa berubah. Jika Anda tidak sanggup melakukan itu, jangan menikahi orang tersebut.

7. Berharaplah untuk Dikuduskan.

Terakhir, selalu ingatkan anak-anak Anda bahwa pernikahan lebih dari sekadar cinta. Ini tentang pengudusan. Saya akan memperkirakan bahwa sejak menikah, sekitar 80% dari pengudusan diri saya terjadi melalui hubungan saya dengan istri saya. Seperti yang dikatakan oleh penulis Gary Thomas bahwa Tuhan lebih tertarik pada kekudusan kita daripada kebahagiaan duniawi kita, dan dia akan menggunakan pernikahan kita untuk membawa kita pada kekudusan (yang bahagia) itu. Kedua mempelai yang menyatakan "saya bersedia" pasti adalah orang yang masih bisa berdosa, dan itu berarti adanya konflik tidak akan terhindarkan. Akan ada musim penderitaan dan pertumbuhan yang menyakitkan. Belajar melayani orang berdosa lain akan menyoroti kesalahan dan dosa Anda sendiri. Saya berterima kasih kepada Tuhan atas perjuangan yang saya dan istri saya alami.

Perjalanan Duniawi Anak-Anak Kita

Dengan siapa anak Anda akan menikah adalah keputusan hidup terpenting kedua yang akan diambil anak-anak Anda. Konsekuensinya akan berlangsung selama beberapa dekade. Karena itu, orang tua yang bijak akan selalu berbicara kepada anak-anak mereka tentang cara memilih pasangan hidup. Mereka memahami bahwa keputusan penting ini dapat membangun atau menghancurkan perjalanan duniawi anak-anak mereka, dan mereka menyikapi ini dengan serius sesuai dengan kenyataan itu. Lagi pula, siapa yang lebih cakap mengajar mereka tentang pernikahan? Anda sudah menjalaninya setidaknya selama satu dekade. Sirami mereka dengan pengalaman Anda.