Mempersiapkan Diri untuk Menikah: Bantuan bagi Pasangan Kristen/Hubungan Seks di Dalam Pernikahan

Dari Gospel Translations Indonesian

Langsung ke:navigasi, cari

Yang Berhubungan Dengan Sumber Daya
Lagi Oleh John Piper
Indeks Pengarang
Lagi Mengenai Pernikahan
Indeks Topik
Tentang terjemahan ini
English: Preparing for Marriage: Help for Christian Couples/Sexual Relations in Marriage

© Desiring God

Bagikan ini
Misi Kami
Terjemahan ini diterbitkan oleh Injil Terjemahan, sebuah pelayanan yang ada untuk membuat buku-buku dan artikel injil-tengah yang tersedia secara gratis untuk setiap bangsa dan bahasa.

Pelajari lebih lanjut (English).
Bagaimana Anda Dapat Membantu
Jika Anda mampu berbahasa Inggris dengan baik, Anda dapat membantu kami sebagai penerjemah secara sukarela.

Pelajari lebih lanjut (English).

Oleh John Piper Mengenai Pernikahan
Bab 4 buku Mempersiapkan Diri untuk Menikah: Bantuan bagi Pasangan Kristen

Terjemahan oleh Yahya Kristiyanto

Review Anda dapat membantu kami memperbaiki terjemahan ini dengan meninjau untuk meningkatkan akurasi terjemahan. Pelajari lebih lanjut (English).


“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah. Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.’” – Ibrani 13:4-5

Sungguh menarik bahwa orang Ibrani menempatkan uang dan tempat tidur dalam pernikahan secara berdampingan. Saya ragu kalau hal ini sekadar kebetulan, karena kebanyakan konselor sekarang ini menempatkan uang dan hubungan seks di dekat bagian atas dari daftar persoalan di dalam pernikahan. Kesepakatan dalam perkara uang dan keharmonisan di tempat tidur dalam pernikahan tampaknya tidak bisa dicapai dengan mudah. Fokus kita dalam bab ini adalah tentang hubungan seks dalam pernikahan, bukan tentang uang.

“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur.” Artinya, biarlah hubungan seks tetap terjaga murni, bersih, bebas dari kecemaran. Semua perkataan sepert “tidak ternoda”, “murni”, “bersih”, “tanpa kecemaran” hanyalah metafora yang dapat dilihat atau dapat diraba untuk tuntutan amoral, yaitu jangan berbuat dosa dengan hubungan seks dalam pernikahan. Tetapi, apa dosa itu? Dosa adalah perbuatan atau perilaku apa saja yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Saya pikir akan sangat menolong bila kita berfokus pada sifat dosa yang utama karena ini berkaitan dengan kekuatan positif yang besar di dalam kehidupan Kristen, yaitu iman. Ibrani 11:6 mengatakan, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.” Hal ini menyiratkan dua hal, yaitu:

  1. Karena dosa adalah apa saja yang tidak berkenan di hadapan Tuhan dan karena tanpa iman Anda tidak dapat berkenan kepada Allah, maka apabila Anda tidak memiliki iman, segala sesuatu yang Anda lakukan adalah dosa, karena segala yang Anda lakukan tidak berkenan di hadapan Tuhan.
  2. Hal ini sangat menunjukkan bahwa pasti ada suatu koneksi yang dekat yang mungkin merupakan hubungan sebab-akibat di antara tidak adanya iman dan dosa. Roma 14:23 menegaskan adanya hubungan seperti itu. Dikatakan, “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa.” Dengan kata lain, sifat yang utama dari perbuatan dan perilaku yang kita namakan dosa adalah bahwa perbuatan dan perilaku itu tidak ditimbulkan atau dimotivasi oleh hati yang beriman. Hal yang membuat suatu perilaku atau perbuatan tidak berkenan kepada Allah adalah bahwa perilaku atau perbuatan itu tidak bertumbuh dari iman di dalam Tuhan. Dosa adalah jahat karena kegagalannya untuk menjadi produk dari iman.

Iman, Dosa, dan Hubungan Seks di Dalam Pernikahan

Kita perlu menjelaskan bagaimana halnya bahwa perbuatan kita berasal “dari iman” atau bukan dari iman. Pertama-tama, iman apakah yang menghasilkan perilaku dan perbuatan yang bukan dosa? Ibrani 11:1 mengatakan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Dengan kata lain, iman adalah keyakinan yang kita rasakan dalam hal-hal yang baik yang sudah Tuhan janjikan akan dilakukan-Nya bagi kita besok dan sampai kepada kekekalan. Kita tidak dapat melihat hal-hal itu, tetapi iman adalah dasar bahwa janji-janji yang kita harapkan akan menjadi kenyataan. Ibrani 11:6 mengatakan, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.”

Dengan kata lain, iman yang berkenan kepada Allah adalah datangnya kita kepada Dia dengan keyakinan bahwa, sekalipun barangkali tidak sesuai dengan apa yang kelihatan, Ia akan memberi upah kepada kita dengan segala hal baik yang sudah Ia janjikan.

Sekarang, bagaimana iman seperti itu dapat menghasilkan perilaku dan perbuatan yang bukan dosa? Mari kita lihat kembali Ibrani 13:5, “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Cinta akan uang adalah hasrat yang tidak berkenan kepada Allah; ini dosa. Di dalam 1 Timotius 6:10 dikatakan, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang.” Penangkal untuk cinta yang penuh dosa ini dan semua kejahatan yang tumbuh darinya adalah rasa cukup. “Cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” Tetapi penulis ayat ini tidak membiarkan kita sampai di sini untuk memulai rasa cukup. Ia melanjutkan dengan memberikan dasar bagi rasa cukup itu “Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.’” Dasar bagi rasa cukup itu adalah janji Allah akan pertolongan dan persekutuan yang tidak akan terhenti. Janji itu diambil dari Ulangan 31:6, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”

Maka penulis surat kepada orang Ibrani mengatakan bahwa Allah telah membuat janji-janji yang menenangkan, meyakinkan dan membangkitkan pengharapan di dalam firman-Nya bahwa apabila kita memiliki iman di dalam janji-janji ini, kita akan merasa cukup. Dan rasa cukup itu akan menjadi penangkal terhadap cinta uang yang merupakan akar dari segala jenis kejahatan.

Sekarang kita bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana sebuah perbuatan atau perilaku datang “dari iman” atau bukan. Apabila kita tidak memiliki iman, apabila kita tidak percaya akan janji Tuhan yang mengatakan “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”, maka kita akan merasa gelisah dan tidak aman, sehingga kuasa uang yang menipu untuk membeli rasa aman dan damai sejahtera akan begitu memikat, sehingga akan mulai menghasilkan kejahatan-kejahatan yang lain di dalam diri kita. Kita akan cenderung mencuri, atau berbohong dalam hal pajak pendapatan, atau mencari-cari alasan supaya kita tidak usah memberi dengan berlimpah kepada gereja, atau dengan seenaknya melupakan hutang kita kepada teman, atau tidak mau mengeluarkan uang sedikit pun untuk membuat rumah yang kita sewa menjadi lebih indah, dan sebagainya, dan sebagainya. Kejahatan yang berasal dari cinta uang tidak ada habisnya. Dan alasan kejahatan-kejahatan ini merupakan dosa adalah karena semuanya tidak berasal dari iman.

Kalau kita mempunyai iman pada janji, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”, maka kita akan bebas dari kegelisahan dan perasaan tidak aman karena mengejar lebih banyak uang, dan kita akan memperoleh kemenangan atas dosa yang diakibatkan oleh cinta uang. Apabila Anda merasa cukup di dalam Kristus, dan berada di dalam janji Tuhan bahwa Ia akan selalu menolong Anda dan menyertai di samping Anda, maka desakan untuk mencuri dan berbohong dalam hal pajak pendapatan, dan menahan pemberian, atau mengabaikan hutang, dan menekan penyewa yang kurang mampu akan lenyap. Sebaliknya, akan muncul pekerjaan sehari-hari yang jujur, akurasi yang lengkap pada pajak pendapatan, kemurahan hati kepada gereja, kesetiaan untuk melunasi hutang, dan memperlakukan orang-orang yang menyewa kepada Anda dengan perlakuan seperti yang Anda inginkan untuk Anda dapatkan dari mereka. Maka semua perilaku yang baru ini bukanlah dosa melainkan kebenaran, karena berasal dari iman kepada janji Tuhan yang memberikan pengharapan.

Sekarang, seandainya saja Anda kehilangan kontak antara semua ini dan hubungan seks di dalam pernikahan, mari kita kembali dan mengambil benang merahnya. Ibrani 13:4 mengatakan, “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur.” Ini berarti, “hendaknya kita menjaga agar tempat tidur tanpa dosa; jadi, jangan berbuat dosa dalam hubungan seks Anda.” Sekarang kita sudah melihat bahwa dosa adalah apa saja yang bukan berasal dari iman. Dosa adalah apa yang Anda rasakan dan pikirkan dan lakukan ketika Anda tidak mengikuti firman-Nya dan tinggal di dalam janji-janji-Nya. Jadi, perintah di dalam Ibrani 13:4 dapat dinyatakan seperti ini: Jagalah agar hubungan seks Anda bebas dari segala perbuatan dan perilaku yang tidak berasal dari iman di dalam firman Allah. Atau, jika ingin dikatakan secara positif: Milikilah perilaku dan lakukan perbuatan di dalam hubungan seks dalam pernikahan Anda yang bertumbuh dari rasa puas yang berasal dari keyakinan kepada janji-janji Allah.

Mengapa mencari kepuasan seks di dalam pernikahan?

Tetapi sekarang mendadak timbul masalah. Ada orang yang mungkin bertanya, “Kalau saya sudah merasa cukup di dalam iman saya kepada janji-janji Allah, mengapa saya masih harus mencari-cari kepuasan seks?” Ini sebuah pertanyaan yang bagus. Dan jawaban pertamanya adalah, “Mungkin Anda tidak usah mencari-cari kepuasan seks; mungkin Anda sebaiknya melajang saja.” Inilah yang dinasihatkan Paulus di dalam 1 Korintus 7:6-7. Ia mengatakan, “Hal ini kukatakan sebagai kelonggaran, bukan perintah, supaya setiap orang menikah dan mendapatkan kepuasan seksual. Apa yang kukatakan adalah bahwa nafsu seks adalah baik, dan bagi orang yang memiliki hasrat yang terus mendesak, pernikahan adalah tempat yang terbaik untuk mendapatkan kepuasan.” Tetapi di ayat 7 ia mengatakan, “Aku berharap bahwa semua orang seperti aku (lajang). Tetapi masing-masing memiliki karunianya yang khas dari Tuhan, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu.” Ayat ini benar-benar luar biasa. Paulus berharap bahwa semua orang melajang seperti dirinya: bebas dari segala kerumitan dalam kehidupan berkeluarga dan dari desakan kuat dari keinginan untuk menikah. Tapi ia tahu, itu bukan kehendak Tuhan: “Masing-masing mendapat karunianya sendiri dari Tuhan.” Tuhan menghendaki agar ada orang yang menikah dan ada pula yang melajang. Dia tidak memberi kepada semua orang kondisi seperti Paulus; ada yang diberinya seperti Petrus, yang membawa istrinya dalam perjalanan misionarisnya (1 Korintus 9:5). Jadi, jawaban pertama untuk pertanyaan, “Jika saya puas dengan iman kepada janji-janji Tuhan, mengapa saya harus mencari kepuasan seks?” adalah, “Barangkali sebaiknya Anda tidak menikah. Mungkin Tuhan menghendaki Anda untuk melajang.” Tetapi ada jawaban kedua untuk pertanyaan ini, yaitu kenyamanan yang Tuhan janjikan akan diberikan-Nya bukan berarti akhir dari semua hasrat, terutama hawa nafsu jasmani. Bahkan Yesus, yang iman-Nya sempurna pun merasa lapar dan menginginkan makanan dan juga merasa lelah dan ingin istirahat. Nafsu seks pun ada dalam kategori ini. Kebahagiaan karena iman tidak membawa pergi semuanya seperti hilangnya rasa lapar dan lelah. Lalu, apa artinya kebahagiaan atau kepuasan dalam hubungannya dengan hawa nafsu seks yang terus berkelanjutan? Saya pikir ada dua artinya, yaitu:

  1. Apabila pemuasan terhadap hasrat itu disangkal dengan melajang, maka penyangkalan itu akan digantikan dengan pertolongan Tuhan dan persekutuan melalui iman dalam porsi yang berlimpah-limpah. Di dalam Filipi 4:11–13 Paulus berkata, “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan… Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Paulus belajar untuk menjadi puas (kenyang) dalam kelaparan; jadi, kita pun bisa belajar untuk menjadi puas apabila Tuhan menentukan untuk tidak memberikan pemuasan seksual kepada kita.
  2. Arti lain dari pemuasan dalam hubungannya dengan hawa nafsu seks adalah: andaikata pemuasan tidak disingkirkan dari kita melainkan diberikan kepada kita di dalam pernikahan, kita pun akan mencarinya dan menikmatinya hanya dengan cara yang merefleksikan iman kita. Dengan kata lain, meskipun pemuasan atas iman tidak mengakhiri rasa lapar kita, keletihan kita, maupun nafsu seksual kita, pemuasan ini tidak mengubah cara kita dalam memuaskan hasrat tersebut. Iman tidak membuat kita berhenti dari makan, tetapi iman menghentikan kita dari kebiasaan makan terlalu banyak; iman tidak membuat kita berhenti dari tidur, tetapi menjaga kita untuk tidak menjadi pemalas yang suka banyak tidur. Iman tidak menghentikan hawa nafsu seks, tetapi… Tetapi apa? Inilah yang akan kita jawab pada bagian selanjutnya dari bab ini, walaupun tempat yang tersedia hanya memungkinkan jawaban yang sangat sedikit.

Iman Memercayai bahwa Seks Itu Karunia yang Baik dari Allah

Pertama-tama, ketika telinga iman mendengar firman dari 1 TImotius 4:4 bahwa “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” – ketika telinga iman mendengar hal ini, telinga pun percaya. Dan iman pun menghormati tubuh dan hawa nafsunya sebagai karunia Allah yang baik. Iman tidak akan memperkenankan pasangan yang sudah menikah untuk berbaring-baring di atas ranjang lalu berkata kepada satu sama lain, “Apa yang kita lakukan ini kotor, karena sama dengan apa yang mereka lakukan di dalam film-film porno.” Sebaliknya, iman justru akan berkata, “Allah menciptakan perbuatan ini, dan ini baik, dan ini “dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran” (1 Tim. 4:3). Dunialah yang telah merampas karunia Allah dan menyelewengkannya dengan penyalahgunaan. Tetapi itu adalah hak anak-anak Allah, jadi iman tidak akan membiarkan kita memandangnya sebagai duniawi atau cemar. “Biarlah ranjang pernikahan terus dihormati oleh semuanya dan ranjang pernikahan tidak dijadikan tercemar.”

Iman Membebaskan dari Perasaan Bersalah di Masa Lalu

Yang kedua, iman meningkatkan sukacita dari hubungan seksual di dalam pernikahan, karena iman membebaskan dari perasaan bersalah di masa lampau. Saya lihat banyak orang yang, terutama sudah menikah tetapi melihat ke belakang kepada perbuatan di masa lalu, seperti percabulan, perzinahan, inses, perilaku homoseks, bertahun-tahun tenggelam dalam kebiasaan masturbasi, dikuasai oleh pornografi, bercumbu dengan banyak pasangan (berganti-ganti pasangan), atau bercerai. Dan apa yang perlu saya katakan kepada kita semua adalah: Apabila di dalam hati Ada tertanam dengan setulusnya, oleh karena kasih karunia Allah, yang melontarkan Anda pada belas kasihan Tuhan demi pengampunan, maka Ia akan memerdekakan Anda dari perasaan bersalah di masa lalu.

“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus” (Roma 8:1).

“Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran” (Roma 4:5).

“Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu!” (Mazmur 32:1-2).

“Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia; sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita” (Mazmur 103:10-12).

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yoh. 1:9).

Tidak ada perlunya bagi seorang anak Tuhan untuk membawa perasaan berdosa ke ranjang pernikahan. Namun itu membutuhkan iman yang solid karena Setan suka membuat kita merasa tidak diampuni karena kebusukan di dalam hidup kita di masa lalu. “Lawanlah dia dengan iman yang teguh” (1 Petrus 5:9). “Dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat” (Efesus 6:16) – iman kepada Anak Allah yang mengasihi Anda dan memberikan diri-Nya kepada Anda (Galatia 2:20), yang demi kepentingan Anda dibuat menjadi dosa yang mana seharusnya Andalah yang menanggung dosa itu – dan datang dengan kebenaran Allah (2 Korintus 5:21), yang menanggung dosa Anda di dalam tubuh-Nya di atas kayu salib (1 Petrus 2:24). Berpeganglah pada pengampunan Anda, dan ambillah bersama Anda ke ranjang pernikahan.

Kristus mati untuk dosa Anda sehingga Anda bisa memiliki hubungan seksual yang bebas dari perasaan bersalah di dalam pernikahan. Sekarang izinkan saya menjelas sesuatu yang sudah saya katakana sebelumnya, yaitu bahwa sekalipun perasaan bersalah karena dosa kita dapat dicuci bersih, bekas-bekas goresan itu tetap ada. Saya bayangkan satu pasangan yang akan bertunangan duduk bersama di sebuah taman. Si pria menengok kepada di wanita sambil berkata, “Ada yang harus kukatakan kepadamu. Dua tahun yang lalu aku melakukan hubungan seks dengan seorang wanita lain. Aku jauh dari Tuhan waktu itu, dan hanya satu malam itu saja. Aku sudah berkali-kali menangisi kejadian satu malam itu. Aku percaya Tuhan sudah mengampuniku dan kuharap kau pun bisa mengampuniku.” Pada minggu-minggu selanjutnya, tanpa air mata, wanita itu mengampuni pria tadi, dan mereka pun menikah. Dan pada malam pertama, mereka berbaring bersama, dan ketika pria itu memandangi istrinya, air mata mengembang di mata istrinya dan si pria pun berkata, “Ada apa?” Dan si istri menjawab, “Aku tak bisa tahan untuk tidak memikirkan perempuan itu, yaitu ia berbaring di sini di tempatku sekarang.” Dan bertahun-tahun kemudian, ketika kebugaran tubuh istrinya sudah terkikis, suami ini dalam kesembronoan imajinasinya mundur ke belakang kepada satu malam yang menjeratnya itu. Itulah yang saya maksud dengan goresan bekas luka. Dan kita semua mempunyai bekas luka seperti itu. Kita semua sudah berbuat dosa, dan meskipun diampuni, kita telah membuat kehidupan kita di saat sekarang lebih bermasalah daripada andaikata kita tidak berbuat dosa.

Tetapi saya tidak ingin memberi kesan bahwa Kristus tidak berkuasa atas bekas-bekas luka seperti itu. Mungkin saja Ia tidak menyingkirkan semua masalah yang ditimbulkan oleh bekas-bekas luka itu, tetapi Ia sudah berjanji untuk bekerja bahkan pada semua masalah ini demi kebaikan kita apabila kita mengasihi Dia dan terpanggil sesuai dengan kehendak-Nya.

Perhatikan contoh pasangan yang baru saja saya ceritakan di atas. Saya lebih suka berpikir bahwa akan ada akhir yang menyenangkan dan membahagiakan. Akhirnya mereka sampai pada suatu hubungan seksual yang memuaskan karena mereka telah bekerja, menggarapnya secara terbuka dengan doa yang konstan dan mengandalkan kasih karunia Tuhan. Mereka membicarakan semua perasaan mereka. Tidak ada apa pun yang disimpan lgi. Mereka saling percaya satu sama lain dan saling membantu satu sama lain, dan mereka menemukan jalan mereka menuju kepada damai sejahtera dan keharmonisan seksual, dan di atas semua itu, mereka mendapatkan dimensi yang baru dari kasih karunia Allah.

Kristus mati bukan hanya supaya di dalam Dia kita memiliki hubungan seksual dalam pernikahan yang bebas rasa bersalah, tetapi juga supaya selanjutnya Ia, bahkan melalui bekas-bekas luka kita, memberikan kebaikan-kebaikan rohani.

Iman Menggunakan Seks sebagai Senjata Melawan Setan

Sekarang hal ketiga yang dapat kita katakan tentang iman dan hubungan seksual di dalam pernikahan adalah bahwa iman menggunakan seks untuk melawan Setan. Lihat 1 Korintus 7:3-5.

Suami harus memberikan kepada istrinya hak-hak yang berkaitan dengan kehidupan suami istri dan demikian juga istri harus memberikan hak seperti itu kepada suami. Karena istri tidak menguasai tubuhnya sendiri, tetapi suaminya; begitu juga suami tidak menguasai tubuhnya sendiri, tetapi istrinya. Jangan saling menolak satu sama lain, kecuali barangkali dengan kesepakatan untuk suatu jangka waktu tertentu, supaya Anda dapat merenung sendiri dalam doa, tetapi kemudian berkumpul bersama lagi, agar Setan tidak mencobai Anda lewat kekurangan Anda dalam penguasaan diri.

Di dalam Efesus 6:16, Paulus mengatakan supaya kita menangkis Setan dengan perisai iman. Di sini ia berbicara kepada orang-orang yang sudah menikah, “Tangkislah Setan dengan hubungan seks yang cukup. Jangan ‘berpuasa’ terlalu lama, tetapi segeralah berkumpul kembali, supaya Setan tidak memiliki pijakan kaki.” Nah, yang mana ini? Apakah kita memagari diri kita sendiri dari Setan dengan perisai iman atau perisai seks?

Jawaban bagi orang-orang yang sudah menikah adalah bahwa iman memanfaatkan hubungan seks sebagai sarana kasih karunia. Bagi orang-orang yang Tuhan tuntun ke dalam pernikahan, hubungan seks adalah sarana yang sudah Tuhan tetapkan untuk mengalahkan godaan dosa (yakni dosa percabulan, dosa berfantasi, dosa membaca bacaan-bacaan porno, dan sebagainya). Iman akan dengan rendah hati menerima karunia seperti itu dan membalasnya dengan ucapan syukur.

Sekarang perhatikan satu hal lain di dalam 1 Korintus 7:3-5. Ini sangat penting. Di dalam ayat 4 Paulus mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak atas tubuh lawannya masing-masing. Pada waktu dua orang menjadi satu, tubuh mereka saling diberikan kepada pasangannya. Masing-masing memiliki hak untuk mengklaim tubuh pasangannya demi mendapatkan kepuasan seksual. Namun apa yang benar-benar perlu kita perhatikan adalah apa yang diperintahkan Paulus di dalam ayat 3 dan 5 sehubungan dengan hak yang saling menguntungkan ini. Ia tidak mengatakan, “Jadi, rebut klaimmu! Ambil hakmu!” Ia mengatakan, “Suami, berikan kepada istrimu haknya! Istri, berikan kepada suamimu haknya!” (ayat 3). Dan di dalam ayat 4, “Jangan saling menolak satu sama lain.” Dengan kata lain, ia tidak mendorong suami maupun istri yang ingin mendapatkan kepuasan seksual untuk merebutnya tanpa memperhatikan kepentingan pasangannya. Sebaliknya, ia mendesak agar suami dan istri selalu siap untuk memberikan tubuh mereka ketika yang lain menginginkannya.

Saya mengambil kesimpulan dari hal ini dan dari pengajran Yesus secara umum bahwa hubungan seks yang menyenangkan dan memuaskan di dalam pernikahan akan tergantung pada masing-masing pasangan dalam kehendaknya untuk memberikan kepuasan kepada pasangannya. Jika masing-masing bersukacita dalam membuat pasangannya bahagia, maka ratusan masalah akan dapat diselesaikan.

Suami-suami, jika Anda bahagia dalam memberi kepuasan kepada istri Anda, Anda akan peka terhadap apa yang ia butuhkan dan inginkan. Anda akan belajar bahwa persiapan untuk mendapatkan kepuasan dalam hubungan seks pada pukul 10 malam sudah dimulai dengan kata-kata lembut pada pukul 7 pagi dan terus berlanjut sepanjang hari dalam bentuk kebaikan dan sikap hormat. Dan ketika tiba waktunya, Anda tidak akan maju seperti sebuah tank, tetapi Anda akan mengetahui irama istri Anda dan membawanya naik dengan terampil. Kecuali istri Anda memberi sinyal, Anda akan berkata, “Klimaks istri saya, bukan klimaks saya, adalah sasarannya.” Dan Anda akan mendapati dalam jangka panjang bahwa jauh lebih diberkati memberi daripada menerima.

Istri-istri, tidak selalu, tetapi sering kali suami Anda menginginkan hubungan seks lebih sering daripada Anda sendiri. Martin Luther mengatakan dua kali seminggu sudah bisa menjadi pelindung yang cukup terhadap penggoda. Saya tidak tahu apakah Katie selalu siap setiap kali atau tidak. Tetapi, biarpun Anda tidak siap, berikanlah. Saya tidak mengatakan kepada para suami, “Ambil saja kalau begitu.” Sebenarnya, demi istri Anda, Anda bisa saja melangkah keluar. Tujuannya adalah saling melampaui dalam hal memberi apa yang dibutuhkan pasangannya. Bagi Anda berdua, jadikan ini sebagai sasaran untuk saling memuaskan satu sama lain sepuas-puasnya.

“Semoga pernikahan dijalankan dengan saling menghormati semuanya, dan jaga agar ranjang pernikahan tidak tercemar.” Yaitu dengan cara tidak berbuat dosa di dalam hubungan seks Anda. Dan itu berarti berperilaku dan berbuat hanya dengan tindakan yang berasal dari iman di dalam janji-janji Tuhan yang memberi pengharapan. Kita semua harus sering bertanya kepada diri sendiri, “Apakah segala yang saya rasakan atau lakukan berakar di dalam penggenapan iman atau di dalam perasaan tidak aman yang menggelisahkan dari seorang yang tidak percaya?” Ini akan menolong Anda dalam ratusan keputusan etis, baik kecil maupun besar.

Saya sudah mencoba memperlihatkan dampak iman pada tiga aspek hubungan seks di dalam pernikahan. Pertama, iman memercayai Tuhan ketika Ia mengatakan bahwa hubungan seks di dalam pernikahan itu baik dan bersih dan harus diterima dengan ucapan syukur oleh mereka yang percaya dan mengenal kebenaran. Kedua, iman meningkatkan sukacita dari hubungan seks di dalam pernikahan karena iman membebaskan dari perasaan bersalah di masa lampau. Iman memercayai janji bahwa Kristus mati bagi semua dosa kita, bahwa di dalam Dia kita akan dapat menikmati hubungan seks di dalam pernikahan yang bebas dari rasa bersalah. Dan yang terakhir, iman menggunakan senjata hubungan seks untuk melawan Setan. Hubungan seks yang saling memuaskan pasangan satu sama lain akan menjadi pukulan yang sangat keras pada kepala ular tua itu. Saya hanya ingin memuji Tuhan ketika berpikir bahwa di atas semua sukacita yang dihasilkan dari sisi seksual di dalam pernikahan, sisi seksual ini juga terbukti merupakan senjata yang menakutkan bagi musuh lama kita.