Keselamatan yang Terbesar/Apakah Ada yang Percaya pada Dosa?
Dari Gospel Translations Indonesian
Oleh Robin Boisvert
Mengenai Injil
Bab 4 buku Keselamatan yang Terbesar
Terjemahan oleh Yenny Sukarta
Anda dapat membantu kami memperbaiki terjemahan ini dengan meninjau untuk meningkatkan akurasi terjemahan. Pelajari lebih lanjut (English).
Satu Sabtu sore beberapa tahun yang lalu saya sedang bekerja keras membersihkan garasi. Putra sulung saya, berusia sekitar empat tahun saat itu, bersiap membantu…boleh dikatakan. Saya memperhatikannya saat ia menatap berbagai benda-benda berbahaya.
“Apa ini, Pa?”
“Itu pisau pemotong kayu milik Papa. Jangan menyentuhnya.”
“Apa ini, Pa?”
“Itu kaleng bensin. Menjauhlah dari sana. Hei, jangan mengambil gergaji itu, Nak.”
Percakapan seperti itu berlangsung untuk beberapa saat sampai, akhirnya merasa lelah, putra saya berseru, “Papa! Semua yang Papa katakan untuk tidak aku lakukan adalah yang ingin aku lakukan!”
Mungkin itulah yang Adam katakan, pikir saya pada diri sendiri. Saya sekarang dapat merasa yakin mengetahui bahwa anak lelaki saya adalah anggota asli umat manusia. Dan begitu juga semua dari kita.
Daftar isi |
Apa Masalahnya?
Coba adakan pemungutan suara non-formal dari tetangga, teman dan rekan kerja, dan tanyakan pada mereka apakah yang mereka anggap sebagai masalah manusia yang paling mendasar. Jawaban yang paling mungkin adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. “Kalau orang berpendidikan baik, mereka dapat melihat gambaran yang lebih besar, lalu tidak akan ada kesulitan-kesulitan,” mereka mungkin katakan. “Pendidikan seks yang lebih akan mencegah AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan. Pendidikan lebih akan menghapus rasisme dan kesalahpahaman yang memecah manusia. Pendidikan yang lebih baik akan memampukan orang miskin untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan menghindari obat-obatan terlarang serta kejahatan.”
Thomas Greer, dalam textbook kontemporer Western Civilization, mengatakan bahwa selama masa Enlightenment di abad ke 18, ilmu pengetahuan dan pendidikan oleh pemikir-pemikir penting dianggap sebagai jawaban bagi dilema manusia. Greer berkata, “Dunia tidak akan pernah sama lagi; kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan pendidikan menjadi ciri dunia modern. Di Amerika Serikat, berdasar dari puncak Enlightenment, kepercayaan itu tetap menjadi sebuah artikel dari kepercayaan bangsa walaupun hal itu sekarang dipertanyakan lebih dari sebelumnya” (penekanan ditambahkan). [1] Walaupun sesungguhnya benar bahwa kebodohan mengklaim sejumlah korban, ada masalah yang lebih mendasar.
Salah satu dari mereka yang mempertanyakan “artikel dari kepercayaan bangsa” itu adalah psikiater terkemuka Karl Menninger. Di awal tahun 1970 ia menulis sebuh buku kecil dengan judul provokatif, “Apa yang Terjadi dengan Dosa?” Di dalamnya ia mengamati kata “dosa” dan konsep yang diwakili kata itu mulai menghilang dari budaya kita sekitar pertengahan abad duapuluh.
- Di dalam semua ratapan dan peringatan yang dibuat oleh para pembimbing dan nabi kita, kata “dosa” tidak pernah disebut, kata yang digunakan sebagai kata peringatan yang absolut dari para nabi. Kata itu adalah kata yang suatu waktu berada di pikiran semua orang, tapi sekarang terdengarpun jarang. Apakah itu berarti tidak ada dosa yang terlibat dalam segala permasalahan kita – (dalam bahasa Inggris dosa adalah “sin” dengan huruf I yang berarti aku berada di tengah)? Apakah tidak ada lagi orang yang merasa bersalah akan sesuatu? Perasaan bersalah mungkin akan dosa yang bisa dipertobatkan atau diperbaiki atau ditebus? Ataukah orang hanya bodoh atau sakit atau kriminal – atau tertidur? Hal-hal yang salah dilakukan, kita tahu; ilalang disebarkan di padang gandum di malam hari. Tapi apakah ada orang yang bertanggung jawab; apakah tidak ada orang yang dapat memberi pertanggungan jawab atas perbuatan-perbuatan ini? Kegelisahan dan depresi kita semua tahu, dan bahkan perasaan bersalah yang samar-samar; tapi apakah tidak ada orang yang telah berbuat dosa?...Kata ‘dosa,’ yang sepertinya telah raib, adalah sebuah kata angkuh. Pada mulanya kata itu adalah kata yang kuat, sebuah kata yang memperingatkan dan serius. Kata itu menggambarkan titik pusat dalam setiap rencana dan gaya hidup dari manusia yang beradab. Tapi kata itu telah pergi jauh. Ia hampir saja punah – kata itu, bersama dengan konsepnya. Mengapa? Apakah tidak ada orang yang berbuat dosa lagi? Apakah tidak ada orang yang percaya pada dosa? [2]
Namun mempelajari buku Dr. Menninger lebih dekat menunjukkan bahwa walaupun ia telah meminta pada masyarakat untuk mempertimbangkan kembali dosa sebagai alat untuk memahami sifat alami manusia, ia sendiri memiliki kekurang pahaman yang serius akan topik ini. Ia memandang dosa seluruhnya dari sisi horizontal, dosa satu orang terhadap orang yang lain atau mungkin terhadap diri sendiri. Untuk sepenuhnya memahami natur dari dosa, kita harus mengenal dimensi vertikalnya: dosa sesungguhnya adalah pelanggaran terhadap Allah.
Mazmur 51 memberikan kita sebuah contoh konkret akan kebenaran ini. Di dalam Mazmur ini Daud menuangkan isi hatinya kepada Tuhan dalam pertobatan. Ia telah ditegur secara terbuka oleh nabi Natan dan didalam dirinya telah ditegur oleh Roh Kudus atas perselingkuhan-nya dengan Batsyeba dan atas pengaturan kematian suami Batsyeba untuk menutupi perbuatannya. Tapi meskipun apa yang telah ia perbuat, Daud berseru kepada Tuhan, “Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:4). Daud tidak menyangkal dosanya kepada Batsyeba dan Uriah, tetapi ia mengakui karakeristik terburuk dari dosa manapun, apapun jenisnya: ia melawan Allah.
Tiga hal apakah yang dibukakan mengenai diri kita oleh pandangan yang tidak akurat tentang dosa? (Lihat 1 Yohanes 1:8-10)
Dosa – betapa pokok bahasan yang tidak menyenangkan! Dan juga yang sulit. Tapi adalah yang sangat esensial bagi kita untuk memikirkan pokok ini, karena bila persepsi kita terhadap dosa tidak benar, begitu pula pengetahuan kita akan Allah, Yesus Kristus, Roh Kudus, hukum Allah, Injil, dan jalan keselamatan. Pengertian yang akurat akan dosa adalah kancing dasar dari kemeja teologi Kristen. Kalau letaknya salah, seluruh baju akan menjadi sepenuhnya berantakan.
Keseriusan Dosa
Mengecilkan dosa sama maraknya dengan dosa itu sendiri. Bukan hal yang tidak lazim untuk mendengar orang mengatakan dosanya sendiri sebagai “kelemahan” atau “kekurangan.” “Tidak ada orang yang sempurna,” kata mereka. Mereka bahkan cukup berani untuk mengakui, “Saya telah salah menilai.” Tapi dosa bukanlah sesuatu yang sepele. Kalau tidak ada dosa maka tidak ada keselamatan. Kalau kita bukanlah orang-orang berdosa besar, lalu Kristus bukanlah Juru Selamat yang besar.
Fakta bahwa kita semua telah dipengaruhi oleh dosa meletakkan kita pada posisi yang tidak menguntungkan dalam usaha kita untuk memahami dosa. Sendirian, kita tidak bisa mendapatkan gambaran yang jelas tentang dosa. Puji syukur, Tuhan telah membekali kita dengan Firman-Nya yang tidak bercacat mengenai subyek ini. Pasal-pasal awal kitab Kejadian menyebutkan dilema dosa manusia, dan selebihnya dari Firman Tuhan dapat dibaca sebagai solusi Allah terhadap permasalahan dosa.
Dalam jarak lima ayat singkat Alkitab mendeskripsikan kita sebagai tak berpengharapan, tak saleh, orang berdosa, dan musuh dari Allah (Rom 5:6-10). Firman Tuhan mengatakan bahwa dosa adalah universal. Dosa bersifat menipu. Dosa juga kukuh dan memiliki kekuatan. Dosa juga begitu membuat tak berdaya sehingga hanya satu kekuatan di alam semesta dapat mengalahkannya. Hanya satu kekuatan, tinggal di dalam satu Orang, dapat mengalahkan dosa karena hanya satu Orang yang pernah tanpa dosa. Seperti malaikat katakan pada Maria, “Engkau akan memberi-Nya nama Yesus, karena Ia akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa” (Mat 1:21).
Kesaksian dari para pria dan wanita saleh sepanjang sejarah Gereja yang menyadari akan keberdosaan mereka seimbang dengan kedekatan mereka kepada Tuhan mendukung pengajaran Firman. Dengarkan saja bagaimana orang-orang kudus Alkitab ini mengevaluasi diri mereka: Daud: “Aku telah berdosa kepada Allah” (2 Sam 12:13)
Yesaya: “Aku ini seorang yang najis bibir” (Yes 6:5)
Petrus: “Pergilah daripadaku, Tuhan; aku orang berdosa!” (Luk 5:8)
Paulus: “Yesus Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa - di antara mereka akulah yang paling berdosa” (1Tim 1:15).
Dosa adalah pelanggaran hukum (1 Yoh 3:4). Tuhan memberikan hukum dan berdiri di belakangnya. Waktu kita melanggar hukum Tuhan, Tuhan menganggapnya personal. Bila kita dapat melihat Tuhan berdiri di belakang setiap situasi dimana hukum-Nya dilanggar dan merasakan kemarahan-Nya yang benar, kita akan dapat memahami keseriusan dosa dengan lebih baik.
Perhatikan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak Eli (1 Samuel 2:12-25) dan respons Tuhan (1 Samuel 2:27-34).
Imam Israel Eli menegur putra-putranya yang bodoh dan tidak bermoral dengan kata-kata ini: “Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap Tuhan, siapakah yang akan menjadi perantara baginya?”(1 Sam 2:25). Sayangnya, kata-katanya terlalu kecil dan terlalu terlambat untuk membuat putra-putranya berbalik. Mereka tidak cukup menyadari keseriusan dosa.
Selamat Datang di Kandang Babi
Esensi dosa telah digambarkan sebagai pemusatan pada diri sendiri. Pemikiran ini ditangkap jelas dalam Yesaya 53:6: “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri.” Mari kita melihat lebih dekat implikasi dari ayat ini.
Seperti domba. Di antara semua binatang ternak yang berintelijensi rendah, domba biasanya tidak sadar akan bahaya sampai akhirnya terlalu terlambat untuk bertindak.
Sesat. Kecenderungan alami dari domba adalah berkeliaran. Kalau sang gembala tidak menjaga mereka tetap dalam satu kelompok, mereka akan cepat tersesat.
Perluas pemahaman Anda atas keseriusan dosa dengan membaca Roma 8:6-7, Kolose 1:21, dan Efesus 2:1-2.
Masing-masing kita. Dosa adalah masalah universal, mempengaruhi kita semua. Jalannya sendiri. Ini adalah inti permasalahannya. Kita ingin menjalani kehidupan kita sendiri tanpa mempedulikan Tuhan yang telah menciptakan kita dan menopang kita, dan kepada siapa kita berhutang untuk nafas kita selanjutnya. Dengar kata-kata dari William Ernest Henley ini, seekor “domba tersesat” yang kelihatannya telah bersikeras dengan jalannya sendiri:
- Tidak peduli bagaimana lurusnya pintu pagar, Bagaimana dipenuhi hukumannya gulungan kitab; Aku adalah tuan dari takdirku, Aku adalah kapten dari jiwaku. [5]
Ruang lingkup dosa begitu besar sehingga Alkitab menggunakan banyak kata untuk menyampaikan sifat mengerikannya serta akibatnya yang bersifat membawa bencana. Terbungkus di dalam satu kata kecil itu adalah ide-ide seperti pemberontakan, kekejian, kebingungan, rasa malu, tidak mencapai target, ketidaksetiaan, ketiadaan hukum, kebodohan, ketidaktaatan, penyimpangan, dan lebih lagi.
Seseorang yang membaca tiga pasal pertama surat Paulus kepada orang Kristen di Roma dikejutkan oleh penghakimannya yang sarkastis terhadap umat manusia. Orang Yahudi dan non-Yahudi terkunci dalam ikatan dosa. Kata-kata Paulus begitu berkekuatan dan jelas sehingga kecenderungan pembaca adalah menganggap pemikiran Paulus sebagai ekstrim. “Hei, dia pasti sedang membicarakan tentang Jack the Ripper atau Adolf Hitler!” Bukan. Paulus sedang membicarakan Anda dan saya. “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak… Tidak ada yang berbuat baik... semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:10, 12, 23). Ayat ini melukiskan potret umat manusia yang sangat tidak terpuji.
Sebagian dari masalah kita adalah kita cenderung mengevaluasi keberdosaan kita dalam hubungannya dengan orang lain. Dibandingkan dengan Attila the Hun, aku jauh lebih baik. Dibandingkan dengan Ibu Teresa, aku tidak. Kalau Tuhan tidak membukakan kepada kita seberapa luasnya dosa kita, kita tidak dapat membedakan kerusakan kita sendiri.
Selama tahun 1980an saya tinggal di daerah pertanian yang indah di Lancaster, Pennsylvania. Hidup di sana sangat menyenangkan dalam segala hal kecuali satu: Saya tidak pernah tahan terhadap bau kotoran. Babi-babi adalah yang paling bau. Tapi menariknya, walaupun bagi saya baunya menjijikan, babi-babi itu tidak tampak terganggu sedikitpun. Seperti J.C. Ryle katakan, “Hewan yang baunya sangat menyerang kita tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka menyerang dan tidak menyerang satu sama lain.” [7] Manusia berdosa, tampaknya, tidak dapat memiliki cukup pemikiran betapa keji dosa di mata Allah yang kudus dan sempurna.
Bagaimana kita sampai jatuh ke dalam keadaan yang menyedihkan ini?
Apa yang telah terjadi dengan umat manusia?
Dapatkah Seekor Macan Tutul Mengganti Belangnya?
Di pasal kelima kitab Roma (ayat 12-21), Paulus menjelaskan sumber dari dosa dan sumber dari pengampunan kita yang paling penting. Harus dicatat di awal bahwa diskusi kita tentang keberdosaan manusia berhubungan dengan keadaan alaminya yang terpisah dari kasih karunia. Melalui pekerjaan penebusan Kristus, hubungan manusia dengan dosa telah berubah secara radikal.
Seumpama segera setelah Tuhan meninggalkan taman, manusia itu berlari dan melompat ke dalam lubang itu. Pada pukul tiga Tuhan kembali dan menemukan semak-semak belum digunting. Ia memanggil si tukang kebun dan mendengar suara tangis lemah dari ujung taman. Ia berjalan ke ujung lubang dan melihat si tukang kebun tanpa daya menggapai-gapai di dasar lubang. Ia berkata kepada si tukang kebun, “Mengapa engkau belum menggunting semak-semak yang Aku perintahkan padamu?” Si tukang kebun menjawab dengan marah, “Bagaimana Engkau menginginkan aku untuk menggunting semak-semak ini saat aku terjebak di dalam lubang ini? Kalau saja Engkau tidak meninggalkan lubang kosong di sini, aku tidak akan berada di situasi sulit ini.”
Adam melompat ke dalam lubang. Di dalam Adam kita semua melompat ke dalam lubang. Tuhan tidak melemparkan kita ke dalam lubang. Adam telah diperingatkan dengan jelas akan lubang itu. Tuhan menyuruhnya untuk menjauh. Konsekuensi yang Adam alami dengan berada di dalam lubang adalah hukuman langsung dari melompat ke dalamnya…
Kita dilahirkan sebagai orang berdosa karena di dalam Adam kita semua telah jatuh. Bahkan kata “jatuh” adalah sedikit eufemisme (mengganti kata yang bermakna kuat dengan yang lebih lemah). Ini adalah pandangan berwarna mawar terhadap masalah. Kata “jatuh” mengimplikasikan sebuah kecelakaan. Dosa Adam bukanlah sebuah kecelakaan. Ia bukanlah Humpty-Dumpty. Adam tidak hanya tergelincir ke dalam dosa; ia melompat kedalamnya dengan dua kaki. Kita melompat bersamanya dengan kepala dahulu.[8] – R.C. SproulDosa memasuki seluruh manusia karena dosa satu orang manusia – Adam. Hal ini dibuktikan dari fakta bahwa semua manusia mati, kematian jasmani sebagai hukuman dari dosa.
Waktu saya masih di tahun ketiga sekolah menengah, kami mempelajari masa Puritan di Amerika. Saya ingat melihat ilustrasi dari sebuah interpretasi bacaan yang berisi seperti ini: “Di dalam kejatuhan Adam, kita semua berdosa.” Saya masih bisa mengingat betapa kata-kata tersebut membuat saya marah. Pada saat itu saya berpikir, Adalah salah mencuci otak anak-anak seperti itu! Kemudian, memikirkan kaitannya dengan diri saya sendiri, saya menjadi sangat kesal. Saya tidak bisa melihat mengapa saya harus diseret jatuh bersama Adam. Bagaimanapun saya tidak mengetahuinya dari Adam! Mengatakan bahwa saya menemukan doktrin ini bersifat menyerang hanyalah sebuah pernyataan remeh. Doktrin ini menyerang rasa keadilan kita. Manusia natural menemukan doktrin ini sangat tidak dapat diterima. (Yang merupakan salah satu alasan utama mengapa saya sekarang percaya bahwa doktrin itu adalah benar).
Inti Paulus menggambarkan keberdosaan yang menyatu dalam diri kita adalah bukan untuk mengusik kita tetapi untuk menginformasikan. Pengertian akan hubungan kita dengan Adam memberikan kita sebuah rasa menghargai yang baru untuk hubungan kita dengan Yesus Kristus. Pastor terkenal D. Martyn Lloyd-Jones menulis, “Kalau Anda berkata pada saya, ‘Apakah adil bila dosa Adam diimputasi kepada saya?’ Saya akan menjawab dengan bertanya, ‘Apakah adil kekudusan Kristus harus diimputasi kepada Anda?’”[9]
Dosa adalah warisan universal diturunkan dari bapak kita semua, Adam. Secara natural, kita semua bersalah dan melawan Allah. Ajaran ini dikenal sebagai dosa asal dan hal itu menggambarkan kondisi manusia yang telah jatuh. Ajaran ini secara langsung berkontradiksi dengan pemikiran bahwa kita semua memasuki dunia dengan bersih, tak berdosa dan tak bersalah. Walaupun manusia terus menyandang peta dan teladan Allah, peta dan teladan itu telah menjadi rusak. Ia sekarang menjadi seperti puing-puing bait suci kuno. Tanda-tanda kebesaran masih terlihat, tetapi kemuliaan telah menjauh. Seperti sebuah kaca retak, bayangan masih terlihat namun sangat menyimpang.
Dosa asal meliputi dua aspek lebih lanjut:
Kerusakan total. Ini adalah istilah yang secara umum disalah mengerti sehingga jadi bermakna rendah. Istilah ini tidak berarti bahwa manusia adalah seburuk yang ia bisa. Ini disebut kerusakan menyeluruh. Kerusakan total mengindikasikan bahwa korupsi dosa mempengaruhi manusia di setiap bagian dari dirinya: pikirannya, emosinya, kehendaknya, dan tubuhnya. Tidak ada dari diri manusia yang tidak dipengaruhi oleh dosa.
Ketidakmampuan total. Ini tidak berarti bahwa manusia tidak dapat melakukan sesuatu yang baik menurut standar manusia. Ia masih bisa melakukan perbuatan baik secara luar dan mungkin memiliki banyak kualitas baik. Tetapi dalam hal-hal spiritual, ia lemah. Bahkan hal yang “baik” yang ia lakukan dicemari oleh dosa. Mengubah kalimat dari Westminster Confession tentang subyek ini, “setelah jatuh dalam dosa, manusia sepenuhnya kehilangan kemampuannya untuk melakukan apapun untuk menyumbang bagi keselamatannya.”
- Mudahnya anak-anak belajar mengatakan “Tidak!”
- Mudahnya mereka dapat melupakan berbuat seperti yang telah diberitahukan.
- Menakjubkannya bagaimana dua orang anak dapat menginginkan mainan yang sama – mainan yang mereka tidak pernah pedulikan selama enam minggu – pada saat yang bersamaan, tidak mempedulikan mainan lainnya yang tersedia.
- Keuniversalan marah-marah dan mengambek.
Donald MacLeod mengatakan, “[Ketidakmampuan total] berarti pertobatan itu melebihi kapasitas manusia biasa.”[10] Lepas dari Kristus, tidak ada yang manusia lakukan yang dapat menyenangkan Tuhan karena ia tidak dimotivasi oleh anugerah Tuhan ataupun merasa peduli akan kemuliaan Tuhan. Dan Tuhan sepenuhnya memperhatikan motivasi kita.
Yeremia memberikan ekspresi tentang ketidakmampuan total ketika ia bertanya, “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?” (Yer 13:23). Ketika Paulus mengatakan kepada orang-orang Efesus bahwa mereka telah mati karena pelanggaran mereka, ia menolong mereka untuk mengerti tidak hanya anugerah Tuhan yang begitu agung dalam menyelamatkan mereka, tetapi juga kebutuhan absolut mereka akan anugerah itu. Orang yang telah mati tidak akan dapat berpartisipasi untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Lalu apa yang terjadi setelah pertobatan? Apakah dosa tidak lagi ada? Oh, seandainya saja itu yang terjadi!Peran apa yang dimainkan air batisan dalam pergumulan kita melawan dosa? (Lihat Rom 6:1-11)
Ancaman penghakiman tidak lagi menggantung di kepala kita. Namun kita terus merakan pengaruh dosa.
‘Hukuman -- Kekuatan -- Kehadiran'
Satu cara yang membantu kita untuk mengerti pembebasan kita dari dosa memiliki tiga kata keterangan waktu yang berbeda: kita telah dibebaskan dari hukuman dosa; kita sedang dibebaskan dari kekuatan dosa; kita akan dibebaskan dari kehadiran dosa. Tetapi, seironis kedengarannya, semakin dekat seseorang berjalan bersama Tuhan, semakin besar pengetahuan dan kesadarannya akan dosa. Saya ingat ketika masih kecil dikagumkan oleh partikel debu yang menari di dalam cahaya yang bersinar melalui jendela. Debu itu ada di mana-mana, tetapi hanya dapat dilihat dengan cahaya. Begitu juga dengan dosa. Dosa dimanifestasi oleh cahaya Firman Tuhan dan Roh Kudus. Semakin kuat cahaya itu, semakin terlihat debu itu.
Ilalang Buruk dengan Akar yang Dalam
Sebagai pencinta buku-buku lama, terutama tulisan-tulisan dari Puritan, saya seringkali menemukan diri saya bergumul dengan penekanan terhadap dosa yang diberikan oleh generasi terdahulu, bahkan di dalam kehidupan orang-orang yang telah bertobat. Di manakah kemenangan dalam hidup mereka? Saya merasa heran pada saat saya pertama membaca tulisan-tulisan itu. Sejak itu saya menjadi mengerti bahwa kesadaran mereka akan dosa, seberapa tajamnya itu, tidak melebihi kesadaran mereka akan anugerah dan kemurahan Tuhan dalam pengampunan dosa itu.
Pertimbangkan Jonathan Edwards, contohnya, dikenal karena kehidupannya yang kudus serta ajarannya yang hebat. Edwards mengatakan memiliki “rasa akan kebejatan diri saya sendiri dan keburukan hati saya sendiri yang sangat lebih besar daripada yang saya rasakan sebelum pertobatan” – sebuah tanda kesehatan rohani, menurut pendapatnya! [12] Penerus dan penulis biografinya, Serano Dwight, merasakan kebutuhan untuk menjelaskan pemikiran kakeknya. Bukannya Edwards memiliki kejahatan lebih, tulis Dwight, melainkan ia memiliki kesadaran yang lebih akan kebejatannya. Ia lalu menerangkan observasinya dengan sebuah analogi:
- Seumpama seorang buta memiliki sebuah taman penuh dengan ilalang buruk dan beracun. Ilalang-ilalang itu berada di taman tetapi ia tidak menyadarinya. Seumpama taman itu, sebagian besarnya, dibersihkan dari ilalang, dan banyak tumbuhan dan bunga-bunga indah dan berharga menggantikan ilalang-ilalang tadi. Orang buta itu lalu memperoleh kembali penglihatannya. Ada lebih sedikit ilalang, tetapi ia lebih menyadarinya. Jadi, semakin terang penglihatan spiritual kita, semakin besar kesadaran kita akan dosa. [13]
Kata-kata berikut dari J.C. Ryle memberikan rangkuman yang baik atas bab doktrin dosa kita:
Dosa – infeksi secara natural tetap ada, ya bahkan di dalam mereka yang telah diperbaharui. Begitu dalamnya akar kejahatan manusia, sehingga bahkan setelah kita dilahirkan kembali, diperbaharui, dibasuh, disucikan, dibenarkan, dan dibuat anggota hidup dari Kristus, akar ini tetap hidup di dasar hati kita dan, seperti kusta di dinding rumah, kita tidak pernah meninggalkannya sampai rumah duniawi di tabernakel ini dihancurkan. Dosa, tidak diragukan lagi, di dalam hati orang percaya, tidak lagi memiliki kuasa. Dosa itu diperiksa, dikontrol, direndahkan, disalibkan oleh kuasa ekspulsif dari prinsip baru anugerah. Hidup orang percaya adalah hidup kemenangan dan bukan kegagalan. Tetapi pergumulan yang terjadi dalam batinnya, peperangan yang ia temukan perlu diperangi setiap hari, kecemburuan yang mengawasi yang harus dipraktekannya terhadap kehidupan batinnya, perseteruan antara daging dan roh, rintihan di dalam yang tak seorangpun tahu kecuali dia yang mengalaminya – semua membuktikan satu kebenaran besar: kuasa dan kekuatan dosa yang besar….Berbahagialah orang percaya yang mengertinya, dan sementara ia bersukacita di dalam Yesus Kristus, tidak bergantung pada daging, dan sementaraa ia mengucap syukur pada Tuhan yang memberikan kita kemenangan, tidak pernah lupa untuk berjaga-jaga dan berdoa kalau tidak ia jatuh dalam pencobaan.”[15]
Diskusi Kelompok
- Bagi kelompok menjadi dua tim, sisi “Ilmu Alam/Pendidikan” dan sisi “Keselamatan.” Biarkan setiap kelompok bergantian memberikan masukan penyakit sosial yang dapat mereka sembuhkan. Tim yang manakah yang melakukan paling banyak kebaikan bagi kemanusiaan?
- “Model moral dari pengertian akan tanggung jawab dan permasalahan manusia semua telah digantikan oleh model kedokteran,” kata penulis (Halaman 14). Bukti apa yang Anda lihat di tubuh Kristus berkenaan dengan perubahan tersebut?
- Bukankah Tuhan sudah cukup dewasa untuk tidak diusik oleh dosa kecil kita yang tidak penting?
- Dalam skala satu sampai sepuluh, beri nilai apa yang gaya hidup Anda katakan tentang keseriusan dosa. (1 = sama sekali tidak serius, 10 = sangat serius)
- Bagaimana esensi dosa didefinisikan? (Halaman 17) Apakah Anda setuju?
- Baca Roma 3:10-18 dengan bersuara. Cobalah sepenuhnya jujur: Apakah Anda bergumul dengan kenyataan bahwa hal ini menggambarkan Anda, lepas dari anugerah penebusan Tuhan?
- Apa yang kita warisi dari Adam? Dari Yesus?
- Bagaimana Anda menjelaskan “ketidakmampuan total” (Halaman 19-20) kepada orang non-Kristen?
- Bahas lagi ketiga kata keterangan waktu akan pembebasan kita dari dosa (Halaman 20-21). Bagaimana penjelasan ini mengajarkan Anda?
- Diskusikan kalimat terakhir di kutipan rangkuman dari J.C. Ryle (Halaman 22).
Bacaan yang Direkomendasikan
- Chosen by God by R.C. Sproul (Wheaton, IL: Tyndale House Publishers, 1986)
Catatan
- ↑ Thomas Greer, A Brief History of the Western World, 5th Ed. (San Diego, CA: Harcourt Brace Jovanovich Publishers, 1987), p. 378.
- ↑ Karl Menninger, Whatever Became of Sin? (New York: Bantam Books, Inc., 1973), pp. 15–16.
- ↑ James Buchanan, The Doctrine of Justification (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1867, 1955), p. 222.
- ↑ John Bunyan from Gathered Gold (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 291.
- ↑ William Ernest Henley from Bartlett’s Familiar Quotations (New York: Little, Brown, and Company, 1919), p. 829.
- ↑ William S. Plumer, The Grace of Christ (Philadelphia, PA: Presbyterian Board of Publication, 1853), p. 24.
- ↑ J.C. Ryle, Holiness (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1879, 1979), p. 65.
- ↑ R.C. Sproul, Chosen By God (Wheaton, IL: Tyndale House Publishers, 1986), pp. 97–98.
- ↑ D. Martyn Lloyd-Jones, Romans: Assurance, Chapter Five (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1972), p. 219.
- ↑ Donald MacLeod from Gathered Gold (Hertfordshire, England: Evangelical Press, 1984), p. 65.
- ↑ William Plumer, The Grace of Christ, p. 20.
- ↑ Jonathan Edwards, The Works of Jonathan Edwards, Vol. 1 (Carlisle, PA: The Banner of Truth Trust, 1974), p. xlvii.
- ↑ Ibid.
- ↑ John MacArthur, Jr., Our Sufficiency in Christ (Dallas, TX: Word Publishing, 1991), p. 70.
- ↑ J.C. Ryle, Holiness, p. 5.