Dipanggil untuk Menderita dan Bersukacita: Untuk Kekudusan dan Pengharapan
Dari Gospel Translations Indonesian
Oleh John Piper
Mengenai Penderitaan
Bagian dari seri Called to Suffer and Rejoice
Terjemahan oleh Desiring God
Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. 2 Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. 3 Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, 4 dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. 5 Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. 6 Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah. 7 Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar – tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. 8 Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.
Saya berharap dalam empat minggu mendatang dapat menolong Anda siap untuk menderita bagi Kristus. Salah satu alasan saya percaya kita harus siap untuk menderita bagi Kristus adalah karena Alkitab mengatakan kita harus siap, dan yang lain adalah karena situasi modern mengatakan kita harus siap.
Bersiap untuk Menderita
David Barrett, cendekiawan misionaris yang mengedit Oxford World Christian Encyclopedia, setiap tahun menerbitkan informasi terkini mengenai keadaan gerakan Kristen di seluruh dunia dengan penyorotan-penyorotan tentang seperti apa nantinya pada tahun 2000. Dalam informasi terbaru pada tahun ini, ia melaporkan bahwa pada tahun 1980, ada sekitar 270.000 martir Kristen. Tahun ini mungkin ada 308.000 dan pada tahun 2000 ia memperkirakan 500.000. 1 Ini adalah orang-orang yang mati kurang lebih secara langsung karena mereka adalah orang Kristen. Di Somalia pada masa kini, puluhan ribu orang Kristen secara sengaja diisolasi dan dibuat kelaparan hingga mati oleh kelompok-kelompok lawan. Ketegangan-ketegangan antara populasi Muslim dan Kristen di Nigeria sangat berbahaya meledak. Jutaan orang Kristen di Cina dan banyak negara lain terus-menerus hidup dalam bahaya pelecehan dan pemenjaraan.
Di Amerika Serikat sendiri, masyarakat sekuler pada umumnya, khususnya kaum elit intelektual dan para pemimpin media, semakin memusuhi gereja Injili dan visi alkitabiah akan kebenaran dan kebaikan yang kita pegang teguh. Amandemen pertama telah begitu diputarbalikkan untuk melayani kaum antagonis sekuler, sehingga tidak akan tidak terpikirkan lagi bagi beberapa hakim untuk membantah bahwa penyediaan publik akan air dan listrik serta pipa pembuangan bagi bangunan-bangunan gereja Kristen menyediakan suatu penetapan agama yang tidak berdasarkan pada UUD melalui sumber daya dan peraturan-peraturan pemerintah.
Para pengunjuk rasa pro-kehidupan yang beraksi dengan damai, yang hanya berdoa di tanah milik publik, dapat diserang dengan kejam oleh para pembela aborsi, seperti yang terjadi di Buffalo, New York, dan tidak menerima perlindungan dari polisi, tetapi malah dituduh melakukan tindak kejahatan.
Nama Yesus secara terbuka dihina dan dihujat oleh para penghibur terkenal dalam suatu cara yang, kalau pada dekade-dekade sebelumnya mereka, sudah menjadikan mereka tercela di mata publik, tetapi pada zaman ini, mereka disetujui atau diabaikan begitu saja.
Harga Amanat Agung
Apa yang semua ini maksudkan adalah bahwa orang Kristen akan menderita lebih banyak di tahun-tahun mendatang. Dan menyelesaikan Amanat Agung akan meminta korban nyawa dari sebagian di antara kita – sebagaimana yang sudah terjadi, dan yang akan selalu terjadi. Delapan belas ratus tahun yang lalu Tertullian berkata, “Kita [orang Kristen] bertambah banyak bila kita habis diberondong oleh Anda; darah orang Kristen adalah benih” (Apologeticus, 50). Dan 200 tahun kemudian St. Jerome berkata, “Gereja Kristus telah didirikan dengan mencurahkan darahnya sendiri, bukan mencurahkan darah orang lain; dengan memikul kekejaman, bukan dengan melakukan kekejaman. Aniaya-aniaya membuatnya bertumbuh; kemartiran telah memahkotainya” (Surat 82).
Kita berbicara begitu banyak tentang negara-negara tertutup pada zaman ini, sehingga kita hampir secara total kehilangan perspektif Allah mengenai misi – seolah-olah Ia memang menghendaki hal ini berjalan dengan mudah dan aman. Tidak ada negara-negara tertutup bagi orang-orang yang berasumsi bahwa penganiayaan, pemenjaraan, dan kematian sebagai hasil yang pasti dari penyebaran Injil. Yesus dengan jelas berkata bahwa semua itu mungkin adalah hasilnya. “Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan akan dibenci semua bangsa oleh karena nama-Ku” (Matius 24:9). “Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu” (Yohanes 15:20).
Sampai kita menemukan kembali perspektif Allah mengenai penderitaan dan penyebaran Injil, kita tidak akan bersukacita dalam kemenangan anugerah yang Ia rencanakan.
Ketaatan pada misi dan keadilan sosial selalu mahal harganya, dan akan selalu demikian. Di desa Miango, Nigeria, ada sebuah wisma tamu SIM [Soudan Interior Mission] dan sebuah gereja kecil yang disebut Kapel Kirk. Di belakang kapel ada kuburan kecil dengan 56 kuburan. Tiga puluh tiga di antara kubur-kubur itu menyimpan tubuh anak-anak misionaris. Batu-batu itu berbunyi: “Ethyl Arnold: 1 September 1928-2 September 1928.” “Barbara J. Swanson: 1946-1952.” “Eileen Louise Whitmoyer: 6 Mei 1952-3 Juli 1955.” Ini adalah harga membawa Injil untuk Nigeria bagi banyak keluarga dalam tahun-tahun terakhir. Charles White menceritakan kisahnya mengunjungi perkuburan kecil ini dan mengakhirinya dengan kalimat yang dahsyat. Ia mengatakan, “Satu-satunya cara kita dapat memahami kuburan di Miango adalah dengan mengingat bahwa Allah juga menguburkan Anak-Nya di ladang misi.” 2
Dan ketika Allah membangkitkan Anak-Nya dari antara orang mati, Ia memanggil gereja untuk mengikut Anak-Nya ke dalam ladang yang sama berbahayanya yang disebut “seluruh dunia.” Tetapi apakah kita bersedia mengikuti?
Apa yang Anda Kerjakan dengan 2 Timotius 3:12?
Dua tahun yang lalu di Ermelo, Holland, Saudara Andrew menceritakan kisah di Budapest, Hungaria, duduk bersama selusin pendeta di kota itu dan mengajar mereka dari Alkitab. Melangkah masuk seorang teman lama, pendeta dari Rumania yang baru-baru ini telah dibebaskan dari penjara. Saudara Andrew mengatakan bahwa ia berhenti mengajar dan tahu bahwa itu adalah waktu untuk mendengarkan.
Setelah jeda lama, pendeta Rumania itu berkata, “Andrew, apakah ada pendeta di penjara di Holland?” “Tidak,” jawab Andrew. “Mengapa tidak?” pendeta itu bertanya. Saudara Andrew berpikir sesaat dan berkata, “Saya kira itu pasti karena kita tidak menggunakan kesempatan dari semua kesempatan yang Allah berikan kepada kita.”
Lalu datang pertanyaan yang paling sulit. “Andrew, apa yang Anda lakukan dengan 2 Timotius 3:12?” Saudara Andrew membuka Alkitabnya dan mengarahkan matanya pada teks itu lalu membaca dengan keras, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.” Ia menutup Alkitabnya perlahan-lahan dan berkata, “Sobat, maafkanlah saya. Kami tidak melakukan apa-apa dengan ayat itu.” 3
Saya takut, kita telah menjinakkan konsep kesalehan menjadi moralitas kelas menengah yang hanya sekadar tidak menyakiti hati dan menaati hukum, sehingga 2 Timotius 3:12 telah menjadi tidak dapat dipahami oleh kita. Saya kira banyak di antara kita tidak siap untuk menderita bagi Injil. Dan itulah sebabnya saya merasa terpanggil untuk mengambil empat minggu membahas apa yang Alkitab katakan tentang hal ini dan apa panggilan Allah pada kita pada zaman ini.
Empat Tujuan Penderitaan yang Alkitabiah
Setiap berita dapat sesuai dengan salah satu dari empat tujuan penderitaan. Dan kita dapat berbicara tentang tujuan-tujuan penderitaan, karena sudah jelas merupakan tujuan Allah bahwa kita kadang-kadang menderita demi kebenaran dan demi Injil. Contohnya, “Karena itu baiklah juga mereka yang harus menderita karena kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu berbuat baik, kepada Pencipta yang setia” (1Petrus 4:19; bdk. 3:17; Ibrani 12:4-11).
Empat tujuan penderitaan yang saya maksudkan adalah:
1. Tujuan moral, karena penderitaan memurnikan kekudusan dan pengharapan kita (Roma 5:1-8).
2. Tujuan keintiman, karena dalam penderitaan, hubungan kita dengan Kristus menjadi lebih dalam dan lebih manis (Filipi 3:7-14)
3. Tujuan misi, karena Allah memanggil kita untuk menggenapkan penderitaan Kristus dengan cara kita memperluas keberhargaan-Nya melalui realitas [yaitu, apa yang terjadi pada] kita (Kolose 1:24)
4. Dan tujuan kemuliaan, karena penderitaan ringan dan sementara ini mengerjakan bagi kita bobot kemuliaan yang kekal (2 Korintus 4:16-18).
Tujuan Moral (Rohani) Penderitaan
Hari ini kita berpusat pada tujuan moral (rohani) penderitaan. Allah menetapkan agar kita menderita bagi Injil dan bagi perkara kebenaran, karena dampak-dampak moral dan rohaninya atas kita.
Bermegah dalam Pengharapan akan Menerima Kemuliaan Allah
Marilah kita membaca salah satu teks agung mengenai hal ini: Roma 5:3-4. Setelah menunjukkan bahwa kita dibenarkan oleh iman dan kita memiliki jalan masuk melalui Yesus kepada anugerah dan bahwa kita berdiri dalam anugerah, Paulus mengatakan di ayat 2 bahwa kita orang Kristen “bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.” Penyebab utama [kita] bersukacita dalam kehidupan Kristen adalah pengharapan yang sangat didambakan bahwa kita akan melihat dan berbagian dalam kemuliaan Allah. Pengharapan akan menerima kemuliaan Allah merupakan pusat kegembiraan kita. Sekarang, jika itu benar, maka Paulus sangat konsisten sepenuhnya dengan melanjutkan dan mengatakan di ayat 3 dan 4 bahwa kita juga akan bermegah dalam hal-hal yang menjadikan pengharapan kita bertambah. Itulah jalur pemikiran di sini: kita mulai dengan pengharapan akan menerima kemuliaan Allah di akhir ayat 2, dan kemudian kita akhiri dengan pengharapan di akhir ayat 4. Maksudnya adalah: jika kita bermegah dalam pengharapan, kita akan bermegah dalam apa yang mendatangkan pengharapan.
Apa yang Mendatangkan Pengharapan
Jadi, ayat 3 dan 4 menggambarkan apa yang mendatangkan pengharapan itu. “Dan bukan hanya itu saja [bukan hanya kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah]. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan [menimbulkan] tahan uji [perasaan diterima] dan tahan uji [menimbulkan] pengharapan.”
Jadi alasan kita bermegah dalam kesengsaraan bukan karena kita menyukai rasa sakit atau kesengsaraan atau ketidaknyamanan atau kesusahan (kita bukan masokis [yaitu orang yang mencari kesukaan dari rasa sakit/penderitaan]), tetapi karena kesengsaraan menghasilkan apa yang kita sukai, yaitu rasa pengharapan yang semakin kuat yang datang melalui pengalaman akan ketekunan yang sabar dan perasaan diterima.
Allah Memiliki Tujuan dalam Penderitaan Umat-Nya
Maka pelajaran utama di sini adalah bahwa Allah memiliki tujuan dalam penderitaan umat-Nya. Dan tujuan itu sering berbeda dengan tujuan pelayanan yang mereka kerjakan. Tujuan pelayanan mungkin untuk menginjili orang-orang lajang di Twin Cities yang belum bergereja, atau kaum profesional di daerah pinggiran kota, atau kaum Muslim Turki. Tetapi tujuan Allah mungkin untuk menghasilkan lebih banyak pengharapan dalam diri para hamba Tuhan dan misionaris dengan menempatkan mereka di penjara. Allah selalu melakukan lebih banyak daripada itu (sebagaimana akan kita lihat dalam minggu-minggu mendatang), tetapi itu akan memadai.
Dengan kata lain Allah mungkin sama sekali tidak mengusahakan produktivitas dan efisiensi pelayanan sebagaimana yang akan kita lakukan. Berulang kali Paulus harus berhadapan dengan pekerjaan Allah yang asing dalam pemenjaraan, pukulan, dan kapal karam serta rencana-rencana yang dihambat yang dialaminya. Bagaimana Allah dapat begitu tidak efisien untuk mengizinkan misi-Nya dihalangi seperti ini berulang kali? Jawaban teks ini (bukan satu-satunya jawaban) semestinya adalah: Allah berkomitmen untuk meningkatkan pengharapan dan kekudusan umat-Nya dalam proses menjangkau orang yang terhilang. Dan hanya Allah yang tahu bagaimana menyeimbangkan kedua hal itu dan membuatnya terjadi dengan cara yang terbaik.
Tiga Dampak Penderitaan
Sekarang mari kita melihat dampak penderitaan secara lebih spesifik. Ada tiga dampak khusus yang disebutkan di ayat 3 dan 4.
1. Ketekunan
Pertama, kesengsaraan menimbulkan ketekunan, atau kesabaran untuk menanggung. Paulus tidak memaksudkan hal ini benar secara universal. Bagi banyak orang, kesengsaraan menimbulkan kebencian, kepahitan, kemarahan, permusuhan, dan keluh kesah. Tetapi ini bukan dampak yang terus-menerus terjadi dalam diri orang-orang yang memiliki Roh Kristus. Bagi mereka, dampaknya adalah kesabaran, karena buah Roh adalah kesabaran untuk menanggung.
Maksudnya di sini adalah kalau penderitaan tidak datang ke dalam hidup kita, khususnya penderitaan demi Kristus dan kebenaran-Nya, kita tidak mengalami kedalaman dan keluasan pengabdian kita kepada Kristus. Sampai saat-saat menjadi sulit, kita tidak akan merasakan dan sungguh-sungguh tahu jika kita adalah orang Kristen yang tampak beriman kalau situasi baik – jenis yang Yesus deskripsikan dalam perumpamaan tentang tanah di Markus 4:16-17.
Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad.
Maka Paulus mengatakan bahwa satu dampak besar kesengsaraan adalah bahwa itu menimbulkan kesabaran dan ketekunan pada umat Allah, sehingga mereka dapat melihat kesetiaan Allah dalam hidup mereka dan tahu bahwa mereka sungguh-sungguh milik-Nya.
2. Tahan Uji
Itulah maksud dari dampak kedua yang disebutkan (ay. 4). “Dan ketekunan [ini] menimbulkan tahan uji.” Secara literal kata dokimen berarti “pengalaman diuji dan diterima [dengan pembuktian].” Kita dapat mengatakan “penerimaan” atau “keterujian.”
Ini tidak sulit dipahami. Jika saat kesengsaraan datang, Anda bertekun dalam pengabdian kepada Kristus dan tidak berpaling melawan Dia, maka Anda keluar dari pengalaman itu dengan rasa yang lebih kuat bahwa Anda riil, Anda teruji, Anda bukan orang munafik. Pohon kepercayaan dibengkokkan tetapi tidak patah. Kesetiaan dan loyalitas Anda diuji dan lulus. Sekarang keduanya memiliki watak “tahan uji.” Emas iman Anda diletakkan dalam api dan keluar dimurnikan, bukan hangus.
Saat melalui ujian yang berapi-api, jalanmu akan terbentang, Anugerah-Ku, cukuplah itu, akan menjadi perbekalanmu Nyala api tidak akan menyakitimu, Aku hanya merancang Kotoran logammu yang habis terbakar dan emasmu untuk dimurnikan.
Itulah dampak kedua dari penderitaan: pengujian dan pemurnian emas kesetiaan kita kepada Yesus. Ketekunan mendatangkan jaminan akan keterujian.
3. Pengharapan
Dampak ketiga berasal dari rasa diuji dan diterima serta dimurnikan. Ayat 4b: “tahan uji [menimbulkan] pengharapan.” Ini membawa kita kembali ke ayat 2: “Kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.” Kehidupan Kristen dimulai dengan pengharapan pada janji-janji Allah dalam Injil, dan itu berputar naik terus melalui penderitaan kepada pengharapan yang semakin lebih banyak.
Ketahanujian menimbulkan lebih banyak pengharapan, karena pengharapan kita bertumbuh ketika kita mengalami realitas kesejatian kita sendiri melalui ujian. Orang-orang yang paling mengetahui Allah adalah orang-orang yang menderita bersama dengan Kristus. Orang-orang yang paling tidak goyah dalam pengharapan mereka adalah orang-orang yang telah diuji secara paling dalam. Orang-orang yang kelihatan paling sungguh-sungguh dan setia serta menginginkan pengharapan kemuliaan adalah mereka yang kenikmatan hidupnya telah dilucuti melalui kesengsaraan.
Bermegah dalam Pengharapan akan Menerima Kemuliaan dan dalam Kesengsaraan
Maka hal pertama yang kita katakan tentang penderitaan dan kesusahan dalam seri khotbah ini adalah bahwa Allah memiliki tujuan di dalamnya. Tujuan itu adalah untuk menimbulkan kesabaran umat-Nya demi nama-Nya; dan melalui itu untuk menguji dan membuktikan serta memurnikan realitas iman dan kesetiaan kepada Kristus; dan melalui itu rasa penerimaan untuk memperkuat dan memperdalam serta mengintensifkan pengharapan kita.
Kita memiliki tujuan-tujuan pelayanan sebagai gereja (pemuridan urban, penggembalaan kelompok kecil, jaringan penginjilan, membela yang belum lahir; memobilisasi kaum muda dan anak-anak); kita memiliki visi misionaris yang besar untuk mengutus 2000 misionaris pada tahun 2000; kita memiliki bangunan yang harus dibayar dan anggaran untuk mendanai semua itu bagi Kristus dan kerajaan-Nya. Berapa banyak dari hal ini yang akan dikabulkan Allah dalam kedaulatan-Nya, saya tidak tahu. Tetapi ini yang saya tahu, dalam pengejaran kita yang taat akan tujuan-tujuan ini, Allah memiliki suatu maksud bagi setiap halangan dan setiap kekecewaan dan semua sakit dan semua penderitaan. Maksud itu sama pentingnya dengan tujuan-tujuan itu sendiri – ketekunan Anda, tahan uji Anda, dan pengharapan Anda dalam kemuliaan Allah.
Apa pun lainnya yang mungkin sedang Allah kerjakan pada tingkat perencanaan hidup kita, hal ini selalu Ia lakukan pada tingkat pusat hidup Anda. Maka marilah kita bersama dengan Paulus bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan dan juga dalam kesengsaraan yang akan datang.
1International Bulletin of Missionary Research, vol. 16, no. 1, Januari 1992, hlm. 27.
2Charles White, “Small Sacrifices,” Christianity Today, vol. 36, no. 7, 22 Juni 1992, hlm. 33.
3Diambil dari kata pengantar kepada buku Herbert Schlossberg, Called to Suffer, Called to Triumph (Portland: Multnomah Press, 1990), hlm. 9-10.