Tiga Hal yang Perlu Kita Ketahui Tentang Allah

Dari Gospel Translations Indonesian

Revisi per 12:12, 20 Agustus 2020; Pcain (Bicara | kontrib)
(beda) ←Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya→ (beda)
Langsung ke:navigasi, cari

Yang Berhubungan Dengan Sumber Daya
Lagi Oleh Jonathan Parnell
Indeks Pengarang
Lagi Mengenai Tritunggal
Indeks Topik
Tentang terjemahan ini
English: Three Things We Should Know About God

© Desiring God

Bagikan ini
Misi Kami
Terjemahan ini diterbitkan oleh Injil Terjemahan, sebuah pelayanan yang ada untuk membuat buku-buku dan artikel injil-tengah yang tersedia secara gratis untuk setiap bangsa dan bahasa.

Pelajari lebih lanjut (English).
Bagaimana Anda Dapat Membantu
Jika Anda mampu berbahasa Inggris dengan baik, Anda dapat membantu kami sebagai penerjemah secara sukarela.

Pelajari lebih lanjut (English).

Oleh Jonathan Parnell Mengenai Tritunggal

Terjemahan oleh Paulin Keren Gloria

Review Anda dapat membantu kami memperbaiki terjemahan ini dengan meninjau untuk meningkatkan akurasi terjemahan. Pelajari lebih lanjut (English).



Ada kata-kata A.W. Tozer yang terkenal, yaitu: “Apa yang kita pikirkan ketika kita memikirkan tentang Allah, itulah hal yang terpenting mengenai diri kita.” Ketika Anda mendengar kata “Allah,” apa yang anda katakan? Apa yang Anda bayangkan dalam hati dan pikiran Anda ketika memikirkan siapakah Allah itu?

Pertanyaan ini penting karena kita semua memiliki jawaban yang berbada-beda. Tiap orang memiliki satu hal yang langsung terbanyang dalam pikirannya ketika mereka berpikir tentang Allah. Dan kita ingin gambaran itu benar, yaitu, dibentuk oleh apa yang Allah katakan tentang diri-Nya, bukan berdasarkan pengalaman kita.

Inilah upaya untuk mendapatkan gambaran itu dengan benar, seperti yang ditegaskan Alkitab. Setidaknya ada tiga hal yang harus kita ketahui tentang Tuhan.

1. Allah Adalah Bapa

“Hal yang paling mendasar mengenai Allah, bukanlah mengenai kualitas yang abstrak, melainkan fakta bahwa Tuhan ialah Bapa,” kata Michael Reeves. Di dalam bukunya Delighting in the Trinity, Reeves memulai dengan fakta penting ini, yang terlalu sering dilupakan orang, bahwa Allah adalah Bapa kita, seperti yang dibuktikan oleh Alkitab dan tuntutan teologi Kristen.

Kebanyakan dari kita, ketika ditanya dengan tiba-tiba siapakah Allah itu, akan menjawab bahwa Allah adalah Sang Pencipta. Kita melihat-Nya sebagai pribadi yang kuat dang berkuasa dan karena Dia segala sesuatu ada. Ini benar. Namun itu bukanlah inti dari siapa Allah itu.

Reeves membuat poin ini dengan jelas dalam bab pertamanya yang berjudul, "Apa yang Allah Lakukan Sebelum Penciptaan?" Jika Allah pada dasarnya adalah Pencipta, itu berarti Dia membutuhkan ciptaan-Nya untuk menjadi seperti-Nya. Sama halnya dengan Allah sebagai Penguasa, atau Hakim. Masing-masing gelar ini adalah deskripsi akurat tentang Allah, tetapi gagal menunjukkan kepada kita siapa Allah sebenarnya. Masing-masing gelar tersebut bergantung pada konteks yang ada. Kita harus bertanya siapa Allah sebenarnya. Siapakah Allah terlepas dari semua itu?

Jawabannya adalah Bapa. Alkitab menjelaskan ini dalam Yesaya 63:16, Yesaya 64: 8 dan Ulangan 32: 6. Dari situ, wahyu Alkitab tentang Allah Tritunggal mulai menyingkapkan keajaibannya. Allah tidak membutuhkan apapun kecuali diri-Nya sendiri agar hal ini menjadi kenyataan. Sebelum segalanya ada, Allah ada – Bapa yang kekal yang secara kekal telah mengasihi Putra-Nya dalam persekutuan Roh Kudus yang tak henti-hentinya. Inilah Allah.

2. Allah Besukacita

John Piper memulai bab pertama dari The Pleasures of God dengan mengutip frasa penting dalam 1 Timotius 1:11 - "yang berdasarkan Injil dari Allah yang mulia dan maha bahagia (Ing: blessed, Ind: diberkati)." Piper menyoroti kata Yunani di balik bahasa Inggris "diberkati", yang merupakan kata yang sama untuk "bahagia” atau “sukacita.” Rasul Paulus menyebut Allah adalah “Allah yang bersukacita.”

Jadi, tidak cukup kita berpikir Allah sebagai Bapa kita. Dia juga Bapa yang bersukacita.

Ketika Anda berpikir tentang Allah, apakah Anda berpikir Dia bersukacita? Atau apakah Dia bersikap tegang? Sayangnya, adalah hal yang umum bagi kita untuk menganggap Allah sebagai karikatur negatif yang menjadi gambaran tentang-Nya. Apakah Anda memikirkan Dia cemberut? Apakah Dia mendidih karena amarah seperti seorang lalim yang plin plan? Atau apakah Anda melihat Dia yang bersukacita – bersukacita dalam kemuliaan Putranya dan persekutuan mereka? Apakah kita melihatnya sebagai Bapa yang berkata tentang Yesus, tanpa ragu-ragu, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Apakah kita melihatnya sebagai Bapa yang berkenan memberi kita kerajaan-Nya (Lukas 12:32)? Apakah kita melihatnya sebagai Allah yang bersukacita dengan sangat ketika orang berdosa bertobat (Lukas 15: 7)?

Selama dosa ada, Ia merasakan kegeraman setiap hari (Mazmur 7:11). Namun pada hakikatnya – siapa Dia yang sebenarnya – Allah bersukacita. Memahami kebenaran ini akan menghasilkan keajaiban dalam jiwa kita.

3. Allah mengasihi

Allah adalah Bapa yang penuh sukacita yang mengasihi Putranya dalam persekutuan yang tiada akhir dengan Roh Kudus. Ini berarti bahwa pada hakikatnya, Allah adalah kasih. Bukan berarti Tuhan tidak pernah marah. Tentu saja Tuhan akan marah atau geram karena dosa dan kesalahkan kita yang mencemooh kasih-Nya. Murka Allah adalah respon terhadap sesuatu yang di luar diri-Nya. Pada hakikatnya, di dalam hati-Nya, Allah mengasihi. Sungguh, Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8)

“Sebelum segala hal yang ada,” Reeves menjelaskan, “untuk selama-lamanya, Allah mengasihi, memberi hidup dan bersuka di dalam Putra-Nya” (26). Dan karena itu, pada dasarnya Allah itu ramah. Seperti air mancur, seperti yang dikatakan Jonathan Edwards, atau seperti cahaya (1 Yohanes 1: 5). Tuhan, pada hakikatnya, bersinar. Dia pada hakikatnya meluap dengan kasih. Maka Dia menciptakan dunia, dalam perkenanan-Nya, dari cinta-Nya yang melimpah, karena itulah Dia.

Bagaimana mungkin kita tidak menyembah Allah yang demikian ini? Bagaimana mungkin kita tidak sepenuh hati berlari pada Allah? Karena dosa merusak persekutuan yang telah ditentukan bagi kita. Kasih Bapa adalah kebenaran yang mungkin tidak kita sukai karena hal itu membuat permusuhan kita terhadap-Nya menjadi tidak rasional. Jika kita jujur, dalam kegelapan kita, kita jauh lebih nyaman dengan Tuhan yang penuh murka dan tidak memiliki kepribadian. Namun Allah yang adalah Bapa yang bersukacita yang selamanya mencintai dengan sukacita yang memberi hidup. Sulit untuk marah pada Allah yang demikian. Itu membuat pemberontakan kita terasa tidak masuk akal.

Pemberontakan yang bodoh adalah kisah yang kita miliki sampai kebenaran injil terungkap. Bapa Surgawi mengutus Putranya untuk hidup dan mati ganti kita, untuk menanggung murka yang kita pantas dapatkan, agar kita disambut dalam persekutuan kasih Allah. Namun injil ini bukanlah sebuah paksaan.

Injil bukanlah upaya Allah untuk menyeimbangkan kemarahan-Nya. Sebaliknya, Injil mengungkapkan hati Bapa yang sebenarnya. Bapa menunjukkan kasih-Nya kepada kita, kata Paulus, bukan setelah Yesus datang dan mati, tetapi dalam kedatangan dan kematian Yesus (Roma 5: 8), agar kita menjadi putra dan putri-Nya yang menikmati persekutuan kekal yang telah dia alami dengan Putra-Nya oleh Roh Kudus untuk selama-lamanya (Yohanes 17: 24–26).

Tuhan – Dia adalah Bapa yang bersukacita yang selalu mengasihi.