Berkat dari Kerendahan Hati
Dari Gospel Translations Indonesian
(←Membuat halaman berisi '{{info|The Blessings of Humility}}Dua karakter Kristiani yang paling sering diajarkan dalam Perjanjian Baru adalah kasih dan kerendahan hati. Perikop klasik mengenai kasi...')
Revisi selanjutnya →
Revisi per 18:19, 19 Juli 2012
Oleh Jerry Bridges
Mengenai Kerendahan hati
Bagian dari seri Tabletalk
Terjemahan oleh Noviyanti Sugita
Dua karakter Kristiani yang paling sering diajarkan dalam Perjanjian Baru adalah kasih dan kerendahan hati. Perikop klasik mengenai kasih adalah, tentu saja, I Korintus 13. Perikop klasik mengenai kerendahan hati, walaupun kata ini tidak pernah disebutkan di dalamnya, adalah Matius 5:2-12, yang dikenal dengan Sabda Bahagia. Dan sebagaimana I Korintus menggambarkan kasih, maka Sabda Bahagia menggambarkan kerendahan hati.
Yesus memulai pengajaranNya dengan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” (Mat 5:3). Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang telah menyadari kemiskinan rohaninya. Mereka melihat kedosaan mereka yang terus menerus walaupun mereka telah menjadi percaya. Berlawanan dengan orang Farisi munafik yang berdoa,”Ya Allah, aku bersyukur karena aku tidak sama seperti semua orang lain,” mereka adalah seperti pemungut cukai yang berseru, ”Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!” (Luk 18:9-13). Inilah awal dari kerendahan hati, menyadari secara penuh tentang kedosaan kita yang terus menerus.
Yesus melanjutkan, “Berbahagialah orang yang berduka cita” (Mat 5:4). Sabda Bahagia kedua ini secara alamiah mengikuti yang pertama. Mereka yang melihat kedosaan mereka yang terus menerus berduka cita karenanya. Mereka merindukan untuk dapat melihat kemajuan di dalam usaha mereka untuk mematikan kedosaan yang menetap dalam hidup mereka – termasuk dosa-dosa “terhormat” yang seringkali kita toleransi dalam diri kita.
Sabda Bahagia ketiga, “Berbahagialah orang yang lemah lembut,” (ay. 5), muncul dari kedua sabda pertama. Kelemahlembutan bukanlah tanda dari kelemahan karakter, melainkan kekuatan karakter. Ini adalah sikap orang yang, menyadari kemiskinan rohaninya sendiri, mengakui bahwa ia tidak layak menerima pemberian dari Tuhan atau dari sesamanya. Ia tidak menjadi marah jika mengalami nasib buruk atau jika diperlakukan tidak adil oleh orang lain. Ia percaya bahwa Tuhan akan bekerja di dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan baginya, sehingga ia menyerahkan masalahnya kepada Tuhan.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (ay. 6). Apa yang menyebabkan seorang percaya menjadi lapar dan haus akan kebenaran? Tumbuhnya kesadaran akan kedosaannya yang terus menerus, bersama dengan kesadaran yang menggembirakan bahwa dosa-dosanya telah ditebus oleh darah Kristus dan bahwa mereka telah mengenakan jubah kebenaranNya. Mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk mengalami apa yang telah mereka miliki di hadapan Tuhan. Mereka rindu untuk lebih dan lebih lagi dibebaskan dari pola kedosaan yang menetap di dalam hidup mereka dan untuk melihat lebih banyak lagi karakter kasih yang dalam Alkitab dinamakan “buah-buah Roh.” Ketegangan antara keadaan yang mereka inginkan dan keadaan di mana mereka melihat diri mereka berada saat ini menyebabkan kerendahan hati yang terus menerus di hadapan Tuhan dan sesama.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya” (ay. 7). Dalam bentuk yang paling dasar, kemurahan hati menggambarkan perasaan sayang atau belas kasihan kepada mereka yang berada dalam keadaan menderita. Tetapi kadang-kadang kemurahan hati berarti pengampunan, seperti ketika pemungut cukai berdoa, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13). Tidak dapat diragukan lagi, arti inilah yang dimaksudkan Yesus. Gambaran yang paling baik bagi kemurahan hati ini dapat dijumpai dalam perumpamaan hamba yang tidak mau mengampuni (Mat 18:23-35). Sang raja menaruh belas kasihan kepada hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta dan mengampuni hutangnya yang sangat besar itu. Tidak lama berselang hamba itu bertemu dengan hamba lainnya yang berhutang seratus dinar kepadanya (jumlah yang sangat remeh dibandingkan dengan jumlah hutangnya) dan ia menolak untuk mengampuninya. Sang raja, setelah mendengar tentang hal itu, berkata, “Hai hamba yang jahat! Seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihi kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (ay. 32-33).
Maka, orang yang murah hati adalah orang yang menyadari betapa besar mereka telah diampuni, dan mereka bersedia untuk mengampuni orang lain yang bersalah kepada mereka. Kemurahan hati berawal dari kerendahan hati, dengan kesadaran yang mendalam mengenai kemiskinan rohaninya, bersama dengan tumbuhnya kesadaran mengenai seberapa besar ia telah diampuni oleh Tuhan.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya” (Mat 5:8). Memiliki hati yang suci berarti bebas dari kecemaran di pusat hidup kita. Ini bukan berarti kesempurnaan tanpa dosa, tetapi ini berarti hidup seseorang ditandai dengan keinginan yang tulus dan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengejar kekudusan itu, yang tanpanya tidak seorang pun dapat melihat Tuhan (Ibr 12:14).
“Berbahagialah orang yang membawa damai” (Mat 5:9). Sang pembawa damai pertama-tama berusaha untuk berdamai dengan sesamanya. Seperti yang dikatakan Paulus, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rom 12:18). Itu artinya kita mengambil inisiatif untuk berdamai, bahkan ketika kita telah dirugikan. Hanya jika kita memiliki sikap ini terhadap diri kita sendiri, barulah kita dapat menjadi pembawa damai bagi orang lain.
Mereka yang berusaha untuk menghidupi ketujuh Sabda Bahagia ini umumnya akan menonjol di masyarakat. Orang akan mengira bahwa masyarakat akan mengagumi dan menghargai mereka yang hidupnya ditandai dengan karakteristik ini. Tetapi biasanya, yang sebaliknyalah yang terjadi. Masyarakat tidak menghargai kerendahan hati karena itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Sebagai akibatnya, Anda mungkin dicerca dan bahkan dianiaya, namun pada akhirnya Anda akan diberkati karena “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak 4:6).