Apakah Kita Tidak Memuliakan Tuhan Jika Kita Rindu untuk Berkumpul Kembali dengan Orang-orang yang Kita Kasihi?
Dari Gospel Translations Indonesian
(←Membuat halaman berisi '{{info|Does it Dishonor God for Us to Long for Reunion with Loved Ones?}}Hampir secara berkala saya mendengar orang Kristen mengatakan hal berikut ini dalam berbagai vers...')
Revisi selanjutnya →
Revisi per 16:57, 18 Juli 2012
Oleh Randy Alcorn Mengenai Surga dan Neraka
Terjemahan oleh Jennifer Silas
Hampir secara berkala saya mendengar orang Kristen mengatakan hal berikut ini dalam berbagai versi: "Kita tidak boleh berpikir tentang berkumpul kembali dengan orang-orang yang kita kasihi, atau tentang sukacita Surga. Kita hanya boleh berpikir tentang bersekutu dengan Kristus, sebab Dialah harta kita satu-satunya." Kedengarannya rohaniah bukan? Namun benarkah demikian?
Paul berkata kepada para sahabatnya di Tesalonika, "dalam kasih sayang yang besar akan kamu" dan "kamu telah kami kasihi" lalu berbicara tentang "[ke-]rindu[-annya] yang besar" untuk datang menjenguk mereka (1 Tesalonika 2:8, 17). Bahkan, Paul menggambarkan hubungannya dengan jemaat Tesalonika sebagai bagian dari upah surgawinya: "Sebab siapakah pengharapan kami atau sukacita kami atau mahkota kemegahan kami di hadapan Yesus, Tuhan kita, pada waktu kedatanganNya, kalau bukan kamu? Sungguh, kamulah kemuliaan kami dan sukacita kami" (1 Tesalonika 2:19-20).
Bukankah ini bukti nyata bahwa kita sepatutnya mengasihi orang-orang secara mendalam dan merindukan untuk berkumpul dengan mereka di Surga? Paul tidak melihat kontradiksi dalam merujuk kepada Yesus sekaligus sahabat-sahabatnya sebagai pengharapan dan sukacita dan mahkotanya di Surga.
Paul kemudian bertanya, "Sebab ucapan syukur apakah yang dapat kami persembahkan kepada Tuhan atas segala sukacita, yang kami peroleh karena kamu, di hadapan Tuhan kita?" (3:9). Sukacita yang diperolehnya dari sahabat-sahabatnya tidaklah bersaing dengan sukacitanya di dalam Tuhan, namun merupakan bagian dari itu. Paul bersyukur kepada Tuhan atas sahabat-sahabatnya. Setiap kali kita tergerak untuk bersyukur kepada Tuhan atas seseorang, kita mengalami apa yang memang Tuhan kehendaki untuk kita rasakan.
Paul juga berkata kepada jemaat Tesalonika, "kamu...ingin untuk berjumpa dengan kami, seperti kami juga ingin untuk berjumpa dengan kamu....Sebab ucapan syukur apakah yang dapat kami persembahkan kepada Tuhan atas segala sukacita, yang kami peroleh karena kamu, di hadapan Tuhan kita? Siang malam kami berdoa sungguh-sungguh, supaya kita bertemu muka dengan muka" (3:6, 9-10). Paul memperoleh sukacita di hadapan Tuhan karena sahabat-sahabatnya di dalam Kristus. Ia menanti-nantikan hari "pada waktu kedatangan Yesus, Tuhann kita, dengan semua orang kudusNya" (3:13). Ia rindu untuk berada bersama-sama dengan Yesus dan umatNya.
Paul berkata kepada jemaat Tesalonika bahwa kita akan dipertemukan kembali dengan keluarga dan sahabat-sahabat kita yang percaya kepada Kristus di Surga kelak: "Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan....mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia....kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka....Demikianlah kita akan selama-amanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini" (4:13-14, 17-18). Sumber penghiburan kita bukan saja bahwa kita akan bersama-sama dengan Tuhan di Surga, namun juga bahwa kita akan bersama-sama dengan satu sama lain.
Richard Baxter, seorang teolog Puritan, menanti-nantikan penghiburan itu: "Saya tahu bahwa Kristus adalah semua dan segala sesuatu; dan bahwa hadirat Tuhanlah yang membuat Surga menjadi Surga. Namun bahwa di sana ada begitu banyak sahabat saya di dalam Kristus yang sangat karib dan berharga membuat pemikiran akan tempat itu menjadi jauh lebih manis bagi saya."
Dalam Filipi 1 Paulus menulis dengan penuh rasa kasih kepada saudara-saudaranya di dalam Kristus, menyatakan bahwa ia merindukan mereka. Perhatikanlah bahwa ia jelas-jelas tidak menganggap bahwa kerinduannya untuk bersama-sama dengan Yesus (1:21) dan kasihnya kepada saudara-saudaranya di dalam Kristus saling bertentangan:
Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita. Aku mengucap syukur kepada Tuhanku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.
Perhatian dan sukacita Paulus dalam hidup mereka selaras dengan kenyataan bahwa hukum terutama yang pertama dan yang ke dua sesungguhnya tak terpisahkan: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu...kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Dan jika kita harus sedemikian terhadap sesama kita, bukankah terlebih lagi terhadap keluarga kita, yang identitasnya berasal tidak lain dari Tuhan sendiri?)
Seakan-akan sudah menduga bahwa mungkin akan ada yang tidak setuju dengannya dan berkata, "Tetapi Tuhanlah harta kita satu-satunya, maka hanya Tuhanlah yang seharusnya menjadi sukacita dan kerinduan kita," Paulus dalam ayat-ayat berikutnya menyatakan:
Memang sudah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil. Sebab Tuhan adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.
Cermatilah apa yang merupakan sumber kerinduan dan kasih mesra Paulus kepada saudara-saudarinya: Kristus Yesus sendiri. Memang mungkin untuk mendahulukan manusia daripada Tuhan, dan itu merupakan penyembahan berhala. Namun mungkin juga, dalam mendahulukan Tuhan daripada manusia, kita lalu menemukan di dalam mereka penyataan yang luar biasa akan Tuhan sendiri - secara begitu menakjubkan hingga sepenuhnya patut bagi kita untuk menyimpan mereka dalam hati kita, untuk menemukan sukacita di dalam mereka, dan untuk merindukan untuk bersama-sama dengan mereka.
Perasaan seperti itu bukanlah penyembahan berhala - tidaklah salah jika kita memiliki perasaan demikian. Bahkan, justru ada yang salah jika kita tidak memiliki perasaan seperti itu. Menemukan sukacita di dalam Tuhan dan merindukan Tuhan tidaklah mematikan sukacita kita di dalam dan kerinduan kita akan orang-orang yang kita kasihi, melainkan justru mengobarkannya. Sukacita kita di dalam dan kerinduan yang kita miliki akan mereka bersumber langsung dari sukacita kita di dalam dan kerinduan kita akan Tuhan. Keduanya tidaklah bertentangan. Bahkan, yang ke dua - kasih kita kepada sesama - mengalir langsung dari yang terutama - kasih kita kepada Tuhan - lalu mengalir kembali ke dalamnya, bagi kemuliaanNya.