Berkat dari Kerendahan Hati
Dari Gospel Translations Indonesian
k (Melindungi "Berkat dari Kerendahan Hati" ([edit=sysop] (selamanya) [move=sysop] (selamanya))) |
Revisi terkini pada 12:21, 30 April 2013
Oleh Jerry Bridges
Mengenai Kerendahan hati
Bagian dari seri Tabletalk
Terjemahan oleh Noviyanti Sugita
Dua karakter Kristiani yang paling sering diajarkan dalam Perjanjian Baru adalah kasih dan kerendahan hati. Perikop yang terkenal mengenai kasih adalah, tentu saja, 1 Korintus 13. Perikop yang terkenal mengenai kerendahan hati, walaupun kata ini tidak pernah disebutkan di dalamnya, adalah Matius 5:2-12, yang dikenal dengan Ucapan Bahagia. Dan sebagaimana 1 Korintus menggambarkan kasih, maka Sabda Bahagia menggambarkan kerendahan hati.
Yesus memulai pengajaran-Nya dengan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah” (Mat. 5:3). Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang telah menyadari kemiskinan rohaninya. Mereka melihat keberdosaan mereka yang terus-menerus walaupun mereka telah menjadi percaya. Berlawanan dengan orang Farisi munafik yang berdoa, "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu karena aku tidak sama seperti semua orang lain,” mereka adalah seperti pemungut cukai yang berseru, ”Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini!” (Luk. 18:9-13). Inilah awal dari kerendahan hati, menyadari secara penuh tentang keberdosaan kita yang terus-menerus.
Yesus melanjutkan, “Berbahagialah orang yang berduka cita” (Mat. 5:4). Ucapan Bahagia yang kedua ini secara alamiah mengikuti yang pertama. Mereka yang melihat keberdosaan mereka yang terus-menerus, berduka cita karenanya. Mereka rindu untuk dapat melihat kemajuan di dalam usaha mereka untuk mematikan keberdosaan yang menetap di dalam hidup mereka – termasuk dosa-dosa “terhormat” yang sering kali kita tolerir dalam diri kita.
Ucapan Bahagia yang ketiga, “Berbahagialah orang yang lemah lembut,” (ay. 5), muncul dari kedua ucapan sebelumnya. Kelemahlembutan bukanlah tanda dari kelemahan karakter, melainkan kekuatan karakter. Ini adalah sikap orang yang, menyadari kemiskinan rohaninya sendiri, mengakui bahwa ia tidak layak menerima pemberian dari Tuhan atau dari sesamanya. Ia tidak menjadi marah jika mengalami nasib buruk atau jika diperlakukan tidak adil oleh orang lain. Ia percaya bahwa Tuhan akan bekerja di dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan baginya, sehingga ia menyerahkan masalahnya kepada Tuhan.
“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran” (ay. 6). Apa yang menyebabkan seorang percaya menjadi lapar dan haus akan kebenaran? Tumbuhnya kesadaran akan keberdosaannya yang terus-menerus, bersama dengan kesadaran yang menggembirakan bahwa dosa-dosanya telah ditebus oleh darah Kristus dan bahwa mereka telah mengenakan jubah kebenaran-Nya. Mereka memiliki kerinduan yang dalam untuk mengalami apa yang telah mereka miliki di hadapan Tuhan. Mereka rindu untuk lebih dan lebih lagi dibebaskan dari pola keberdosaan yang menetap di dalam hidup mereka dan untuk melihat lebih banyak lagi karakter kasih yang di dalam Alkitab dinamakan “buah-buah Roh”. Ketegangan antara keadaan yang mereka inginkan dan keadaan di mana mereka melihat diri mereka berada saat ini menyebabkan kerendahan hati yang terus-menerus di hadapan Tuhan dan sesama.
“Berbahagialah orang yang murah hatinya” (ay. 7). Dalam bentuk yang paling dasar, kemurahan hati menggambarkan perasaan sayang atau belas kasihan kepada mereka yang berada dalam keadaan menderita. Tetapi kadang-kadang kemurahan hati berarti pengampunan, seperti ketika pemungut cukai berdoa, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk. 18:13). Tidak dapat diragukan lagi, arti inilah yang dimaksudkan Yesus. Gambaran yang paling baik bagi kemurahan hati ini dapat dijumpai dalam perumpamaan hamba yang tidak mau mengampuni (Mat. 18:23-35). Sang raja menaruh belas kasihan kepada hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta dan mengampuni hutangnya yang sangat besar itu. Tidak lama berselang hamba itu bertemu dengan hamba lainnya yang berhutang seratus dinar kepadanya (jumlah yang sangat remeh dibandingkan dengan jumlah hutangnya sendiri), tetapi ia menolak untuk mengampuninya. Sang raja, setelah mendengar tentang hal itu, berkata, “Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (ay. 32-33).
Maka, orang yang murah hati adalah orang yang menyadari betapa besar mereka telah diampuni, dan mereka bersedia untuk mengampuni orang lain yang bersalah kepada mereka. Kemurahan hati berawal dari kerendahan hati, dengan kesadaran yang mendalam mengenai kemiskinan rohaninya, bersama dengan tumbuhnya kesadaran mengenai seberapa besar ia telah diampuni oleh Tuhan.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya” (Mat. 5:8). Memiliki hati yang suci berarti bebas dari kecemaran di pusat hidup kita. Ini bukan berarti kesempurnaan tanpa dosa, tetapi ini berarti hidup seseorang ditandai dengan keinginan yang tulus dan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengejar kekudusan itu, yang tanpanya tidak seorang pun dapat melihat Tuhan (Ibr. 12:14).
“Berbahagialah orang yang membawa damai” (Mat. 5:9). Sang pembawa damai pertama-tama berusaha untuk berdamai dengan sesamanya. Seperti yang dikatakan Paulus, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Rm. 12:18). Itu artinya kita mengambil inisiatif untuk berdamai, bahkan ketika kita telah dirugikan. Hanya jika kita memiliki sikap ini terhadap diri kita sendiri, barulah kita dapat menjadi pembawa damai bagi orang lain.
Mereka yang berusaha untuk menghidupi ketujuh Ucapan Bahagia ini umumnya akan menonjol di dalam masyarakat. Orang akan mengira bahwa masyarakat akan mengagumi dan menghargai mereka yang hidupnya ditandai dengan karakteristik ini. Tetapi biasanya, yang sebaliknyalah yang terjadi. Masyarakat tidak menghargai kerendahan hati karena itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Sebagai akibatnya, Anda mungkin dicerca dan bahkan dianiaya, namun pada akhirnya Anda akan diberkati karena “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati” (Yak. 4:6).